Rabu, 30 Januari 2019

Masjid Kalimantan

BAB I
PENDAHULUAN

 Kalimantan adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah utara Pulau Jawa dan di sebelah Barat Pulau Sulawesi. Terbagi menjadi wilayah Brunei, Indonesia dan Malaysia. Seringkali pulau ini secara keseluruhan disebut Borneo sedangkan wilayah Indonesia disebut Kalimantan, lalu wilayah Malaysia disebut Sarawak dan Sabah. Selain itu ada pula kesultanan Brunei. Pada zaman dahulu, Borneo adalah nama yang dipakai oleh kolonial Inggris dan Belanda, sedangkan nama pulau Kalimantan digunakan oleh penduduk Indonesia. Dalam bahasa Indonesia dahulu, Kalimantan Utara adalah sebutan untuk Borneo Utara (Sabah), tetapi dalam pengertian sekarang Kalimantan Utara adalah Kalimantan Timur bagian utara. Jadi dalam arti luas Kalimantan meliputi seluruh pulau Borneo, sedangkan dalam arti sempit Kalimantan hanya mengacu pada wilayah Indonesia.

Pulau Kalimantan berada di tengah-tengah Asia Tenggara karena itu pulau ini banyak mendapat pengaruh budaya dan politik dari pulau-pulau sekitarnya. Sekitar tahun 400 pulau Kalimantan telah memasuki zaman sejarah dengan ditemukan prasasti Yupa peninggalan Kerajaan Kutai tetapi perkembangan kemajuan peradaban relatif lebih lambat dibandingkan pulau lain karena kendala geografis dan penduduk yang sedikit.
Sekitar tahun 1362 Majapahit dibawah pimpinan Patih Gadjah Mada melakukan perluasan kekuasaannya ke pulau Kalimantan, yaitu negeri-negeri : Kapuas-Katingan, Sampit, Kota Ungga, Kota Waringin, Sambas, Lawai, Kadandangan, Landa, Samadang, Tirem, Sedu, Barune, Kalka, Saludung, Solot, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalong, Tanjung Kutei dan Malano tetap yang terpenting di pulau Tanjungpura.
Di zaman Hindia-Belanda, Kalimantan dikenal sebagai Borneo. Ini tidak berarti nama Kalimantan tidak dikenal. Dalam surat-surat Pangeran Tamjidillah dari Kerajaan Banjar pada tahun 1857 kepada pihak Residen Belanda di Banjarmasin ia menyebutkan pulau Kalimantan, tidak pulau Borneo. Ini menunjukkan bahwa di kalangan penduduk, nama Kalimantan lebih dikenal dari pada nama Borneo yang dipakai dalam administrasi pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Nama Kalimantan kembali mulai populer pada sekitar tahun 1940-an.


BAB II
PEMBAHASAN

 2.1. Masjid Sultan Abdurrahman
Masjid Sultan Abdurrahman merupakan Masjid Kasultanan Pontianak terletak sebelah timur Sungai Kapuas Besar tepatnya di Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak timur, Kotamadia Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat. Luas lahan masjid 6755 m2, sedangkan luas bangunan masjid 1.250 m2. Bangunan masjid dibangun di atas tiang-tiang dari kayu belian. Serambi terdapat di bagian depan masjid yang disangga oleh tiang-tiang. Ruang utama masjid terdapat enam buah tiang utama (soko guru) berbentuk bulat dan 14 buah tiang pembantu berbentuk segi empat dan sejumlah tiang pinggir. Di bagian tengah ruang masjid ada 10 buah pintu dan jendela-jendela. Terdapat mihrab dan mimbar yang diatasnya tergantung selembar papan bertuliskan huruf arab.
 

Atap masjid dari sirap berbentuk tumpang empat yang makin ke atas semakin kecil. Setiap tingkat dibatasi oleh jendela-jendela ukuran kecil. Pada keempat sudut atap ketiga dihiasi oleh kubah-kubah kecil. Atap paling atas berbentuk kubah.
Masjid Kasultanan Pontianak dibangun oleh Sri Sultan Syarif Usman al-Kadri Ibnu Sultan Syarif Abdulrrachman Ibnu al-Habib Husein al-Kadri pada hari Selasa bulan Muharram tahun 1237 H atau 1823 M. Hal ini berdasarkan atas tulisan huruf arab pada selembar papan yang tergantung di atas mimbar. Sultan Abdulrrachman adalah salah seorang dari Kesultanan Pontianak yang merupakan kerajaan Islam di Kalimantan Barat akhir abad 17 Masjid Kasultanan Pontianak telah dipugar pada tahun 1993 melalui Proyek Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Kalimantan Barat.

2.2. Masjid Kesultanan Sambas
 

Masjid Kesultanan Sambas terletak di Desa Dalam Kaum, Kecamatan Sambas, Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat. Kerajaan Sambas menganut agama Islam pada masa pemerintahan raja Raden Sulaiman bergelar Sri Sultan Mohammad Tsafiuddin I pada 10 Zulhijjah 1040 H. Setelah beliau wafat sebagai penggantinya adalah Sultan Tsafiuddin II. Pada masa Sultan Tsafiuddin II inilah masjid dibangun sekitar 1885 M dibantu oleh Pangeran Bendahara Mangkuningrat. Masjid merupakan perpaduan antara gaya Belanda, Arab, dan Melayu, serta bangunan berbentuk rumah panggung.
Sebagai masjid kerajaan, masjid terletak dibagian barat alun-alun di depan bekas Istana Kesultanan Sambas. Bangunan berdiri di atas lahan berukuran 65 x 45 m, sedangkan masjidnya berukuran 22 x 22 m. Denah masjid bujur sangkar dengan arah hadap ke utara, terbuat dari bahan kayu. Masjid terdiri dari ruang utama, serambi, dan menara untuk menuju ruang utama harus melalui serambi yang terdapat di bagian depan. Bentuk serambi persegi panjang mempunyai tangga dengan empat anak tangga, juga mempunyai pintu di sisi utara dari besi dengan dua daun pintu. Pintu tersebut tingginya hanya 1/3 dinding serambi dan di kiri-kanannya masing-masing mempunyai lima buah jendela tanpa daun jendela berbentuk persegi panjang dan bagian atasnya berupa lengkungan. Sedangkan pada sisi timur dan barat masing-masing mempunyai empat jendela yang sama dengan jendela utara.
Atap serambi bertingkat dua yang terdiri dari atap rata dan atap segitiga. Di atas atap rata terdapat dinding untuk menyangga atap kedua. Dinding mempunyai hiasan berupa ukiran garis lurus dengan bunga di bagian atas dan bawah. Pada dinding depan (utara) selain ukiran terdapat pula tulisan Arab. Di atasnya pada bidang segitiga dibagian pinggirnya di hiasan dan puncak segi tiga tersebut terdapat sulur-sulur menyerupai mahkota.
Untuk masuk ke ruang utama terdapat dua buah pintu berbentuk segi empat dengan relung/lengkungan di bagian atasnya. Di kiri-kanan ke dua pintu tersebut masing-masing terdapat empat jendela empat persegi dengan relung di atas jendela hanya terdiri atas satu daun jendela dari kaca. Sedangkan di sisi timur dan barat juga terdapat jendela. Lantai terbuat dari kayu bellan, sedang dinding dari papan.
Di dalam ruang utama terdapat tiang, mihrab, dan mimbar. Tiang yang ada di dalam ada delapan buah dan merupakan penyangga bangunan, terbuat dari kayu belian/besi yang telah di cat. Pada dinding sisi barat terdapat bagian yang menjorok keluar dan berfungsi sebagai mihrab. Mihrab ini bersatu dengan ruang induk tetapi atapnya merupakan atap tersendiri. Atap mihrab berbentuk tingkat dua. Di antara atap satu dan atap kedua terdapat dinding dengan lubang angin berbentuk bulat. Atap teratas bentuk seperti kerucut dengan mustaka berbentuk tiang dengan bulat-bulatan. Di dalam mihrab terdapat mimbar berbentuk kecil.
Sisi timur ruang utama terdapat ruangan kecil, bertingkat dua. Untuk masuk ke ruangan ini melalui tiga buah anak tangga dari batu. Sedangkan untuk ke lantai dua terdapat tangga kayu sebanyak 11 anak tangga. Pintu terbuat dari papan dengan satu daun pintu dengan lubang angin di atasnya. Jendela terdapat di barat dan di sisi timur ruangan. Di atas semua jendela terdapat lubang angin persegi panjang. Ruang atas pintunya juga sebuah berbentuk persegi panjang.
Atap ruangan induk tumpang tiga berbentuk meru. Bahan atap dari sirap. Diantara atap tersebut ada dinding untuk menyangga atap yang dilengkapi dengan jendela kaca dan lubang angin berbentuk bulat.
Bangunan penyerta yang melengkapi masjid adalah menara. Menara ini berjumlah dua buah terdapat di sisi barat, utara dan selatan mihrab. Bentuknya empat persegi dan terdiri dari tiga tingkatan dan dapat masuk ke dalamnya melalui pintu di utara. Pada tingkat ke tiga terdapat pelataran disekeliling menara dengan pagar dari besi tegak lurus. Di dinding menara terdapat lubang angin berbentuk bulatan. Atap menara berbentuk kerucut sama seperti atap mihrab.
Bangunan masjid telah mengalami perbaikan dan pemugaran. Tahun 1937 pada masa Sultan Mohammad Ibrahim Tsafiuddin IX dilakukan perluasan ruangan, kemuadian dilakukan penataan lingkungan, penggantiang bagian yang bocor oleh Panitia Masjid dengan dana bantuan dari Presiden pada tahun 1981. Terakhir dilaksanakan pemugaran tahun anggaran 1985/1986-1986/1987 oleh Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Kalimantan Barat.


2.3. Masjid Agung Amuntai
 

Pada mulanya Masjid Agung Amuntai didirikan di Desa Pakacangan permulaan abad 19 bersamaan dengan berkembangnya agama Islam di Kalimantan Selatan. Kemudian pindah ke Desa Alamatan, Kecamatan Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 1875. Masjid tersebut pada masa penjajahan Belanda sangat penting karena berhubungan dengan perang Banjar tahun 1860. Fungsi masjid pada masa ini selain tempat shalat juga dipergunakan untuk tempat perundingan rahasia yang diadakan untuk melemahkan Belanda.
Masjid Agung Amuntai lokasinya berdekatan dengan makam Said Suleiman (salah seorang penyebar agama Islam di Kalimantan Selatan). Luas lahhan masjid 125 x 125 m, sedangkan luas bangunan 55 x 55 m dan tinggi sampai puncak 45 m. Denah bangunan empat persegi, menghadap ke barat. Di dalam ruangan terdapat tiang sokoguru, mimbar, mihrab, dan lemari dinding.
Pintu masuk terdapat pada keempat sisi dan bagian atas pintu tersebut berbentuk lengkungan setengah lingkaran. Lantai masjid dari ubin dengan tiang sokogurunya dari kayu ulin. Pada dinding bagian atas terdapat jendela kaca dengan hiasan kayu di tengahnya dan juga ada lubang angin. Atap Masjid Agung Amuntai merupakan atap tumpang bertingkat dua dengan kubah pada bagian atasnya dan di puncak kubah tersebut terdapat tiang dengan tulisan Arab (Allah). Di sebelah barat (depan) terdapat penampil yang berfungsi sebagai mihrab, berbentuk persegi panjang. Bagian luar atas berlipit rata dan dinding depan terbuat dari kaca yang dihiasi kayu serta tiang semu di tengahnya. Atap mihrab berbentuk kubah dengan lubang angin empat persegi berderet dua baris dan di puncaknya terdapat tiang dengan tiga bulatan (tusuk sate). Di bagian luar masjid ada pelataran berukuran 13 x 17 m disemen.
Masjid Agung Amuntai telah dipugar pada tahun 1981/1982-1982/1983 oleh Proyek Pemugaran dan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Kalimantan Selatan. Adapun perbaikan masjid meliputi perbaikan teras masjid, pagar/jeruji besi, penambahan dinding ruang muazin dan khatib, serta ruang wudhu.


2.4. Masjid Su’ada
 

Masjid Su’ada terletak di Desa Wasah Hilir, Kecamatan Simpur, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Provinsi Kalimantan Selatan. Masjid Su’ada diambil dari nama Said yaitu salah seorang  pelopor pendiri masjid Su’ada. Said bermakna “beruntung” yang dijamakkan menjadi Su’ada. Tokoh pelopor tersebut adalah Syekh H. Abbas dan Syekh H. Muhammad Arsyad al-Banjari Palampayan dari Kabupaten Banjar.
Menurut riwayat Syekh Abbas menulusuri sungai Wasah sekitar tahun 1859 kemudian bermukim di Wasah Hilir dan sekaligus melakukan da’wah agama Islam. Selain penyebaran agama Islam, ia juga seorang pejuang melawan penjajah Belanda. Pada hari tuanya, Syekh Abbas berkeinginan membangun masjid megah untuk mengganti masjid kecil yang sudah ada. Tugas ini diserahkan kepada keponakannya yakni Syekh H. Muhammad Said dari Kandangan. Untuk melaksanakan pembangunan Masjid Su’ada, maka diadakan musyawarah yang dihadiri oleh para ulama, pemuka agama, tokoh masyarakat.
Kerja berat dimulai dengan mengumpulkan bahan dan peralatan. Setelah dipandang cukup, maka pada tanggal 27 Zulhijja 1328 h atau tahun 1908 M, bangunan masjid mulai didirikan. Tanggal dan angka tahun ini dipahatkan pada tonggak petunjuk waktu shalat yang terletak di sebelah selatan bangunan masjid. Selain itu angka tahun yang lain terdapat di mimbar yakni tahun 1337 H atau tahun 1917 M. Syekh Haji Abbas meninggal dunia pada tahun 1921 dan Syekh Haji Muhammad Said tahun 1924. Keduanya dimakamkan di Wasah Hilir, tidak jauh dari Masjid Su’ada.
Masjid Su’ada dibangun di atas tanah seluas 1047 m2 dengan luas bangunan 18 x18 m. Bangunan masjid berdiri di atas tiang (panggung) dari kayu ulin, terdiri dari: empat tiang soko guru dengan penampang segi delapan, 12 tiang untuk menopang atap tingkat kedua, 20 batang tiang untuk menopang atap tingkat pertama, 22 batang tiang untuk menopang atap tingkat pertama pada bagian luar shalat, dan enam batang tiang pengimaman (mihrab)
Keseluruhan bangunan masjid terdiri atas bangunan induk, pengimaman, sumur, bak air wudhu, dan tonggak petunjuk waktu. Bangunan induk dan pengimaman masing-masing mempunyai lantai dan ruang bersambung menjadi satu. Lantainya terbuat dari papan ulin. Pintu masuk ruang masjid ada empat buah dengan masing-masing dua daun pintu. Bagian atas masing-masing pintu terdapat tulisan huruf Arab.
Banguan mihrab Masjid Su’ada mempunyai kekhususan, yaitu berbentu segi delapan, dan seperempat bagian dari yang bersegi delapan itu menjadi satu dengan bangunan induk, sedangkan tiga perempat lainnya menonjol keluar bangunan induk yang tampak hamper bulat. Atapnya bersusun dua, atap teratas berbentuk kubah. Pada sudut atap dihiasi dengan simbar. Di depan mihrab terdapat mimbar, dindingnya berukir dan atapnya berbentuk segi empat yang meruncing ke atas,
Atap masjid bersusun tiga, berbentuk persegi empat, setiap tingkat atap terdapat jendela kaca. Puncak atap ditutup dengan memolo dari bahan logam berwarna putih mengkilat. Bentuk mamolo semacam kuncup bunga bersusun dengan bulatan pada ujungnya menyerupai kepala putik.
Masjid Su’ada telah dipugar pada tahun 1982-1984 oleh Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kalimantan Selatan.


2.4. Masjid Kiai Gede
 

Masjid Kiai Gede terletak di desa Kotawaringin Hulu, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimantan Tengah. Masjid ini letaknya di tengah kota dan tepatnya di tenggara alun-alun. Pendirian masjid Kiai Gede pada masa pemarintahan Pangeran Dipati Antakesuma (raja Kotawaringin)
Masjid diberi nama Kiai Gede, karena jasa dan prakarsa Kiai Gede dalam mengislamkan daerah Kotawaringin. Kiai Gede tersebut sebenarnya bukan orang kotawaringin tapi berasal dari Jawa. Beliau datang ke Banjarmasin karena perselisihan dengan Sultan Demak. Sesampai di Banjarmasin, Sultan mengutusnya untuk membuka wilayah baru di bagian barat yang sekarang bernama Kotawaringin. Di daerah ini beliau diangkat menjadi Mangkubumi.
Bangunan masjid dikelilingi pagar kayu setinggi kurang lebih 1,25 cm, berdiri pada halaman seluas 900 m2. Denahnya berbentuk bujur sangkar berukuran 15,5 x 15,5 m, dengan tipe joglo. Masjid ini merupakan rumah panggung/kolong dengan ketinggian kurang lebih 1,5 m dari permukaan tanah. Lantai dan dinding terbuat dari kayu ulin. Di dalam bangunan terdapat 36 buah tiang yang terdiri dari tiga jenis yaitu:
  1. Tiang utama (soko guru) berjumlah empat buah terdapat ditengah ruangan. Bentuknya segi delapan dan pada keempat sisinya penuh dengan ukiran bermotif sulur-sulur dan spiral. Tiang berdiri di atas umpak yang berbentuk kelopak bunga teratai.
  2. Tiang dengan bentuk silinder (bulat) berjumlah 12 buah ukurannya lebih kecil dari tiang soko guru, tidak berukir. Pada bagian tengah bulatannya kecil dari bagian bawah dan atas, juga berdiri di atas umpak lebih sederhana dari umpak soko guru. Letaknya mengelilingi tiang soko guru.
  3. Tiang yang berjumlah 20 buah merupakan deretan ke dua mengelilingi soko guru. Bentuk bulat dan lebih kecil dari tiang 12, letaknya menempel pada dinding dalam masjid. Fungsi tiang 20 ini sebagai penguat dinding/penyangga.

Selain tiang dalam bangunan utama terdapat mihrab dan mimbar. Sebagai pelengkap masjid dalam ruangan juga terdapat bedug yang merupakan hadiah dari kerajaan Demak. Ukuran panjang 161 cm dengan garis tengah 58 cm dan digantung dengan rantai besar. Bagian bawahnya terdapat tulisan Jawa Kuno dengan tahun Saka. Pada bagian belakang terdapat bangunan tambahan berukuran 5 x 12 m, tepat di tengah-tengah bangunan induk. Fungsi bangunan ini sebagai tempat jamaah yang terlambat datang. Sebenarnya bangunan ini untuk jamaah wanita. Dinding terbuat dari kayu dengan lubang angin dibagian atasnya. Bangunan mempunyai atap seperti atap puncak bangunan induk. Di muka masjid ada bangunan kecil untuk tempat wudhu. Pelengkap masjid lain adalah jam penunjuk waktu shalat yang terbuat dari kayu dan berupa tugu.
Atap bangunan merupakan atap tumpang tiga dari bahan sirap. Diantara tingkatan atap terdapat dinding dari kayu. Pada atap ketiga berbentuk seperti kerucut dan di puncaknya terdapat hiasan bunga tiga tangkai. Di bagian bawah atap, bagian ujungnya ada hiasan sulur. Antara atap ke dua dan ketiga pada ujung bawah dinding atap tingkat dua terdapat tiang sebagai penyangga atap teratas dilengkapi alat pengeras suara untuk mengumandangkan adzan.
Masjid Kiai Gede telah mengalami tiga kali perbaikan yaitu tahun 1951 dilakukan penambahan bagian teras, atap sirap dengan dana swadaya dari masyarakat setempat dan dibantu oleh jamaah masjid. Perbaikan ke dua pada bagian mimbar tahun1968. Tahun anggaran 1980/1981-1985/1986 dilaksanakan pemugaran oleh Bidang Permuseuman Sejarah dan Kepurbakalaaan Kantor Wilayah Depdigbud Provinsi Kalimantan Tengah melalui Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Kalimantan Tengah.


BAB III
PENUTUP

             Masjid kuna yang berada di Kalimantan ada beberapa jenis, yaitu Masjid Sultan Abdurrahman, Masjid Kesultanan Sambas, Masjid Agung Amuntai, Masjid Su’ada, dan Masjid Kiai Gede. Ke lima masjid ini merupakan masjid kuna yang berada di daerah-daerah Kallimantan. Masjid-masjid tersebut memiliki bentuk arsitektur bangunan, bentuk kubah, arcade, tiang dan kapitelnya, menara serta ragam hias yang khas. Masjid-masjid tersebut memiliki mihrab, mimbar, ruang utama, tempat wudhu, dan tempat adzan yang merupakan norma pokok masjid.



DAFTAR PUSTAKA
Atmodjo, Yunus Satrio (ed). 1998/1999. Masjid Kuno Indonesia. Jakarta: Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah Kepurbakalaan Pusat
http://sapitque.blog.friendster.com/files/kalbar-27-sept-2008-029.jpg. Di download, 11 Oktober 2009.
http://www.budpar.go.id/imgdata/_cache/_big_paper-article463-img1347_sambasmesjidagung.jpg. Di download, 11 Oktober 2009.
http://3.bp.blogspot.com/_gfNQjq5Nm9Y/Sh_puG4R69I/AAAAAAAAAC4/14nfG7LcepQ/s320/Masjid+Raya.JPG. Di download, 11 Oktober 2009.
http://bubuhanbanjar.files.wordpress.com/2009/02/suada-ok.jpg. Di download, 11 Oktober 2009.
http://www.yamp.or.id/images/news/img_44_l.jpg. Di download, 11 Oktober 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Artikel Popular Pekan Ini