Pada tanggal 14-16 agustus 2009, saya mengikuti Pelatihan Metodologi di situs Gantarangkeke yang terletak di Kab. Bantaeng, Makassar. Pelatihan itu diikuti oleh mahasisiwa Arkeologi Universitas Hasanuddin angkatan 2008 yang dilaksanakan oleh jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin. Dalam kegiatan ini, seluruh peserta melakukan pemetaan, mensurvei, serta merekam data pada situs Gantarangkeke.
Situs Gantarangkeke ini, terletak di desa Gantarangkeke, kecamatan Gantarangkeke, kabupaten Bantaeng yang berpusat di sungai Biangkeke Tompobulu. Situs Gantarangkeke merupakan salah satu pusat kekuatan atau pusat pemerintahan kuno (pra-islam). Situs Gantarangkeke terletak di bagian timur Bantaeng dengan menyatukan kampung-kampung kecil dalam satu territorial kekuasaan. Dalam situs Gantarangkeke, dapat ditemukan sebuah rumah adat Gantarangkeke yang disebut Ballak Lompoa, sebuah pohon beringin yang besar yang berada di samping rumah adat, sebuah tempat pencak silat (Pamanca’), sebuah gelanggang bertarung (passaungang taua), dan Pocci Butta. Situs Gantarangkeke ini berada di tengah-tengah permukiman penduduk.
Saya beserta peserta yang lain dan para dosen, meninggalkan Makassar pada pukul 18.22 WITA. Perjalanan yang kami tempuh sekitar empat setengah jam. Kami tiba di situs Gantarangkeke pada pukul 23.09 WITA. Sesampai di tempat peristirahatan, kami makan malam dan beranjak untuk istirahat.
Keesokan harinya, kami bangun sekitar jam 05.00 WITA untuk melaksanakan shalat shubuh dan mandi pagi. Setelah itu, pada pukul 06.30 WITA, kami diberi pengarahan bagaimana cara menyitus yang baik oleh pak Yadi (salah seorang dosen Arkeologi Universitas Hasanuddin). Ketika pukul 07.00 WITA, kami sarapan pagi.
Setelah sarapan pagi, pada pukul 08.36 WITA, kami bersiap-siap untuk berangkat ke situs Gantarangkeke dengan berjalan kaki. Jarak situs Gantarangkeke dengan tempat tinggal kami sekitar 3 km. Sebelum berangkat, kami berdoa yang dipimpin oleh salah satu peserta pelatihan. Kami tiba di situs Gantarangkeke pada pukul 9.12 WITA.
Pada situs Gantarangkeke ini, dapat ditandai dengan vegetasi kuno berupa sebatang pohon beringin besar tumbuh dan masih menjadi media upacara Karaeng Loe (Tumanurung) yang biasa dilakukan setiap tahun pada peringatan 10 Sya’ban. Selain itu, terdapat pula sebuah rumah adat (ballak lompoa) yang menghadap ke utara, ke arah Gunung Lompobattang yang dibangun dekat pohon saukang (pohon sesajian). Rumah ini ditunggui oleh seorang “Pinati” atau orang yang dipercaya memiliki kelebihan di bidang spiritual.
Rumah adat Ballak Lompoa memiliki besar pintu pagar masuk seluas 1,47 m. Pagar di bagian utara memiliki panjang 9,50 m, bagian barat memiliki panjang 14,40 m, bagian selatan memiliki panjang 9,70 m, dan bagian timurnya memiliki panjang 13,90 m. Rumapagar yang terbuat dari bambu dan disekitar rumah adat dikelilingi oleh batu-batu kecil. Rumah adat Gantarngkeke memiliki sebuah susunan batu-batu kecil yang berbentuk kerucut yang berada di bawah rumah adat dan berfungsi sebagai pembuangan comberan. Rumah adat ini, berada di tengah-tengah pemukiman penduduk. Rumah adat Gantaranh adat ini dipagari oleh gkeke ini, memiliki dua pintu dan dua tangga. Dimana, pintu dan tangga yang berada di sebelah selatan hanya terbuka setahun sekali pada saat memperingati 10 Sya’ban pada upacara Pajjukukang.
Di belakang pohon beringin, terdapat sebuah tempat pencak silat (pamanca’) yang berupa jejeran batu yang berbentuk persegi empat. Temuan ini memiliki ukuran batu yang beragam. Batu yang paling besar memiliki ukuran 35 cm dan yang paling kecil 20 cm. panjang temuan disisi utaranya sebesar 7,02 m, disisi timurnya sebesar 7,55 m, disisi selatan sebesar 7,05 m, dan disisi baratnya sebesar 6,05 m. Di sekitar temuan, saya dan teman kelompok saya menemukan beberapa temuan lepas. Temuan lepas itu berupa keramik jenis porselin, tembikar dan earthenwear. Di sebelah timur Pamanca’ terdapat sebuah aula yang digunakan sebagai tempat musyawarah.
Kata Pak Rasyid, seorang penduduk yang tinggal di daerah tersebut, temuan ini bernama Pamanca’ yang artinya pencak silat. Tanah pada Pamanca’ ini, dulunya berupa lubang. Jika ingin masuk, harus melompat turun ke tempat Pamanca’ dengan iringan gendang.
Arah ke selatan dari rumah adat dan tempat Pamanca’, terdapat sebuah gelanggang bertarung yang disebut Passaungang Taua. Temuan ini berada di ujung perkebunan coklat dan dekat dengan sebuah jurang. Passaungang Taua berbentuk bulat yang tidak beraturan dan memiliki sebuah pintu masuk yang menghadap ke arah utara. Temuan ini banyak di tumbuhi rerumputan dan banyak ditemukan daun-daun kering karena tidak terawat. Temuan ini memiliki keliling 28,30 m, serta lebar pintu masuknya adalah 40 cm. Disebelah barat dari Passaungang Tau, terdapat sebuah Dakon yang dulunya digunakan oleh masyarakat sekitar untuk menentukan hari baik.
Tidak jauh dari rumah adat Gantarangkeke, yang terletak di sebelah utara, terdapat sebuah temuan yang disebut Pocci Butta. Temuan ini bersusun dan membentuk sebuah lingkaran yang ditengah-tengahnya terdapat sebuah batu besar dan kecil. Tinggi dari susunan batu temuan ini adalah 40 cm dan memiliki lebar 70 cm. Di sebelah timur temuan, ditemukan sebuah batu besar yang tingginya sekitar 2 m, dan di sebelah selatannya terdapat sebuah pohon besar dan batu besar.
Setelah selesai melakukan pemetaan, mensurvei, serta merekam data, kami kembali ke tempat penginapan pada pukul 17.00 WITA. Sesampai di tempat penginapan, kami beristirahat. Pada pukul 19.00 WITA, kami makan malam dan dilanjutkan dengan mendiskusikan hasil pekerjaan yang telah kami lakukan siang hari.
Dari kegiatan Pelatihan Metodologi yang saya ikuti di Situs Gantarangkeke ini, saya dapat mengetahui bahwa di daerah Bantaeng terdapat sebuah situs Gantarangkeke yang merupakan Kampung tua orang Makassar. Saya juga dapat mengetahui bahwa di situs ini tersebar sisa-sisa megalitik yang berhubungan dengan pemujaan Karaeng Loe.
Situs Gantarangkeke ini, terletak di desa Gantarangkeke, kecamatan Gantarangkeke, kabupaten Bantaeng yang berpusat di sungai Biangkeke Tompobulu. Situs Gantarangkeke merupakan salah satu pusat kekuatan atau pusat pemerintahan kuno (pra-islam). Situs Gantarangkeke terletak di bagian timur Bantaeng dengan menyatukan kampung-kampung kecil dalam satu territorial kekuasaan. Dalam situs Gantarangkeke, dapat ditemukan sebuah rumah adat Gantarangkeke yang disebut Ballak Lompoa, sebuah pohon beringin yang besar yang berada di samping rumah adat, sebuah tempat pencak silat (Pamanca’), sebuah gelanggang bertarung (passaungang taua), dan Pocci Butta. Situs Gantarangkeke ini berada di tengah-tengah permukiman penduduk.
Saya beserta peserta yang lain dan para dosen, meninggalkan Makassar pada pukul 18.22 WITA. Perjalanan yang kami tempuh sekitar empat setengah jam. Kami tiba di situs Gantarangkeke pada pukul 23.09 WITA. Sesampai di tempat peristirahatan, kami makan malam dan beranjak untuk istirahat.
Keesokan harinya, kami bangun sekitar jam 05.00 WITA untuk melaksanakan shalat shubuh dan mandi pagi. Setelah itu, pada pukul 06.30 WITA, kami diberi pengarahan bagaimana cara menyitus yang baik oleh pak Yadi (salah seorang dosen Arkeologi Universitas Hasanuddin). Ketika pukul 07.00 WITA, kami sarapan pagi.
Setelah sarapan pagi, pada pukul 08.36 WITA, kami bersiap-siap untuk berangkat ke situs Gantarangkeke dengan berjalan kaki. Jarak situs Gantarangkeke dengan tempat tinggal kami sekitar 3 km. Sebelum berangkat, kami berdoa yang dipimpin oleh salah satu peserta pelatihan. Kami tiba di situs Gantarangkeke pada pukul 9.12 WITA.
Pada situs Gantarangkeke ini, dapat ditandai dengan vegetasi kuno berupa sebatang pohon beringin besar tumbuh dan masih menjadi media upacara Karaeng Loe (Tumanurung) yang biasa dilakukan setiap tahun pada peringatan 10 Sya’ban. Selain itu, terdapat pula sebuah rumah adat (ballak lompoa) yang menghadap ke utara, ke arah Gunung Lompobattang yang dibangun dekat pohon saukang (pohon sesajian). Rumah ini ditunggui oleh seorang “Pinati” atau orang yang dipercaya memiliki kelebihan di bidang spiritual.
Gbr. 1. Rumah Adat Ballak Lompoa (Rumah adat Gantarangkeke)
Di belakang pohon beringin, terdapat sebuah tempat pencak silat (pamanca’) yang berupa jejeran batu yang berbentuk persegi empat. Temuan ini memiliki ukuran batu yang beragam. Batu yang paling besar memiliki ukuran 35 cm dan yang paling kecil 20 cm. panjang temuan disisi utaranya sebesar 7,02 m, disisi timurnya sebesar 7,55 m, disisi selatan sebesar 7,05 m, dan disisi baratnya sebesar 6,05 m. Di sekitar temuan, saya dan teman kelompok saya menemukan beberapa temuan lepas. Temuan lepas itu berupa keramik jenis porselin, tembikar dan earthenwear. Di sebelah timur Pamanca’ terdapat sebuah aula yang digunakan sebagai tempat musyawarah.
Gbr. 2. Temuan Pamanca’ (Pencak Silat)
Arah ke selatan dari rumah adat dan tempat Pamanca’, terdapat sebuah gelanggang bertarung yang disebut Passaungang Taua. Temuan ini berada di ujung perkebunan coklat dan dekat dengan sebuah jurang. Passaungang Taua berbentuk bulat yang tidak beraturan dan memiliki sebuah pintu masuk yang menghadap ke arah utara. Temuan ini banyak di tumbuhi rerumputan dan banyak ditemukan daun-daun kering karena tidak terawat. Temuan ini memiliki keliling 28,30 m, serta lebar pintu masuknya adalah 40 cm. Disebelah barat dari Passaungang Tau, terdapat sebuah Dakon yang dulunya digunakan oleh masyarakat sekitar untuk menentukan hari baik.
Gbr. 3. Temuan Passaungang Taua
Gbr. 4. Temuan Dakon
Gbr. 5. Temuan Pocci Butta
Dari kegiatan Pelatihan Metodologi yang saya ikuti di Situs Gantarangkeke ini, saya dapat mengetahui bahwa di daerah Bantaeng terdapat sebuah situs Gantarangkeke yang merupakan Kampung tua orang Makassar. Saya juga dapat mengetahui bahwa di situs ini tersebar sisa-sisa megalitik yang berhubungan dengan pemujaan Karaeng Loe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.