Potensi dan Prospek Kompleks
Situs Arkeologi Batujaya
Laporan hasil penelitian yang diajukan oleh Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya ini, yang dilaksanakan oleh suatu tim ahli arkeologi yang dipimpin oleh Drs. Hasan Djafar, telah menyajikan hasil penelitian mutahir (hingga akhir 1999) serta merangkumkan pula hasil-hasil penelitian terdahulu di kawasan yang sama. Dalam laporan itu dipaparkan sejumlah fakta arkeologis yang telah dimulculkan melalui sejumlah ekskavasi pada 12 di antara 24 lokasi yang diketahui mengandung peninggalan kepurbakalaan. Dalam hubungan dengan kebutuhan untuk menamakan lokasi-lokasi ini perlu kiranya dibuat pembedaan berdasarkan dimensi dan tatarannya. Kalau istilah “situs” sudah digunakan untuk keseluruhan kompleks unur-unur (bukit-bukit kecil) yang terdapat diseluruh daerah (kecamatan/desa) Batujaya, yang terdiri dari beberapa lokasi di kampung Telagajaya dan kampung Segaran, maka mestinya istilah yang sama tidak dapat digunakan untuk masing-masing unur atau lokasi yang dinamai Segaran (SEG) I-IX dan Telagajaya (TLJ) I-VIII. Atau, kalau masing-masing lokasi temuan itu dinamakan situs, seperti yang digunakan juga dalam laporan (situs Segaran I, situs Telagajaya I, dan seterusnya), maka kawasan temuan yang lebih luas di desa Batujaya itu dapat disebut “kompleks situs” atau “agrerat situs”.
Penomoran situs-situs yang 24 itu dibuat berurut berdasarkan asas prioritas penemuan dan penelitiannya. Pemaparan yang telah dibuat oleh Hasan Djafar dan tim itu telah merangkumkan seluruh hasil penelitian sejak 1984, dan itu memberikan pandangan baru mengenai masa sejarah awal di Indonesia, di Pulau Jawa khususnya. Hasil penelitian-penelitian itu telah mengungkapkan fakta –fakta, seperti terdapatnya bangunan-bangunan dari batu bata dengan beberapa petunjuk bahwa penggunaannya adalah sebagai sarana keagamaan (khususnya agama Buddha); digunakannya votive tablets dari tanah liat bakar yang di tempat-tempat lain diketahui merupakan kebiasaan di kalangan umat agama Buddha; ditemukan juga suatu benda batu yang mirip sebuah lingga (lambang Siwa dalam agama Hindu), namun mungkin harus lebih dilihat sebagai sejenis menhir dalam kebudayaan prasejarah; penggunaan lepa putih pada permukaan dinding bangunan; dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Sumarah Adhyatman di daerah aliran sungai Citarum yang juga melintasi daerah Batujaya ditemukan sejumlah keramik Cina yang menunjuk pada jangka waktu abad ke-9 hingga ke-14 M.
Laporan Hasan Djafar dan tim ini disertai pula análisis keadaan geografis, formasi tanah, dan karakternya yang terkait dengan curah hujan, banjir, dan peresapan air.
B. Interpretasi
Dengan memperhitungkan semua perubahan alami yang mungkin telah terjadi di pantai utara Jawa Barat sepanjang masa 15 abad itu, tidak tertutup kemungkinan bahwa daerah Batujaya pada masa lalu terletak lebih dekat ke pantai. Posisi geografis yang demikian itu mungkin bukanlah ssesuatu yang tidak disengaja, melainkan dengan perhitungan tertentu diambil untuk melayani fungsi-fungsi tertentu dalam interaksi antar bangsa. Di samping itu, terdapatnya temuan-temuan masa prasejarah di daerah-daerah aliran sungai di Jawa Barat itu, khususnya dari masa perundagian, menunjuk pada telah terbentuknya masyarakat prasejarah yang cukup terorganisasi dan siap untuk meningkatkan peradaban atas dasar pengaruh-pengaruh budaya baru yang mengenal tulisan.
Temuan sisa-sisa bangunan di Batujaya yang menunjuk pada agama Buddha, yang kita tahu mempunyai kitab-kitab suci, baik yang dasar berbahasa Pali, maupun yang berbahasa Sansekerta pada aliran Mahayana dan perkembangan selanjutnya, maka itu berarti bahwa sekurang-kurangnya masyarakat yang menghasilkan temuan-temuan Batujaya itu sadar akan adanya ilmu dan teknik menulis dan membaca. Hal ini lebih-lebih disiratkan oleh ditemukannya tulisan pendek dalam aksara Pallava di bawah gambar-gambar tokoh kedewataan dalam votive tablets. Aksara ini sama dengan aksara yang dipakai pada inskripsi-inskripsi Tarumanagara yang lebih tersebar di daerah Jawa Barat.
Paparan hasil penelitian menyebutkan relief tokoh-tokoh yang ada dalam materai-materai tanah liat itu sebagai “pantheon Buddha” atau “mandala Buddha”. Penggunaan peristilahan itu kiranya masih perlu dipertimbangkan ulang, karena pengertian pantheon adalah “keseluruhan susunan dewa-dewa” sebagaimana terdapat dalam sebuah sistem kepercayaan secara keseluruhan. Penggambaran suatu kelompok saja dari pantheon tak dapat disebutkan sebagai pantheon juga. Pengertian mandala dalam agama Buddha lebih khusus lagi, yaitu “konfigurasi skematis dari kosmos yang diwujudkan dalam bentuk susunan dewa-dewa”, jadi tidak sembarang himpunan dewa-dewa. Adapun penggambaran susunan tokoh-tokoh dalam meterai tanah liat itu lebih mirip dengan penggambarran “Buddha dengan para bodhisattva sebagai pasukan spiritualnya” daripada penggambaran mandala yang seharusnya ditandai oleh penempatan ‘dewa-dewa’ dalam konfigurasi ruang yang simetris ke empat arah.
Penafsiran historis untuk menghubungkan peninggalan Batujaya ini dengan kerajaan Taruma di satu sisi dan kerajaan-kerajaan yang kemudian sesudah itu (seperti “Galuh” dan “Sunda”), kiranya masih memerlukan lebih banyak kehati-hatian. Penggunaan sumber-sumber tertulis yang belum teruji benar kesahihannya perlu dihindari. Hal ini lebih-lebih perlu dijaga apabila kita bermaksud memasyarakatkan hasil-hasil penelitian yang memang sangat bermakna sebagai pembuka cakrawala baru dalam pembahasan sejarah kuno kita. Hasil-hasil penelitian prasejarah, sebaliknya, dapat lebih dipersandingkan dengan tanpa masalah sepanjang kita mengetahui posisi stratigrafis dan atau pertanggalan absolutnya.
C. Perlindungan dan pemanfaatan
Temuan-temuan ilmiah yang amat penting untuk menjawab berbagai pertanyaan sejarah dan sejarah budaya Indonesia ini kiranya perlu dimasyarakatkan secara luas. Upaya seperti itu perlu langsung disertai penyadaran akan pentingnya data itu, dan oleh karena itu siapa pun perlu memahami pentingnya perlindungan baginya. Perlindungan berarti menjaga kelestariannya. Dalam situasi-situasi tertentu kita memang dihadapkan pada suatu dilemma apabila tuntutan perlindungan warisan sejarah dan budaya itu berhadap-hadapan dengan kepentingan ekonomik. Dalam kasus Batujaya ini misalnya, kebutuhan lahan persawahan bisa saja dilihat sebagai ancaman bagi kelestarian tinggalan sejarah dan budaya masa lalu. Atau sebaliknya, kegiatan arkeologi dapat dilihat sebagai ancaman bagi petani dalam mengusahakan pencaharian hidupnya. Dalam situasi-situasi seperti inilah Pemerintah (pada tingkat mana pun) harus dapat bertindak untuk mencari upaya pemecahan agar kedua kepentingan tidak dikorbankan.
Bagi kepentingan ilmiah, fasilitasi penelitian-penelitian lanjutan amat diperlukan agar gambaran sejarah dan budaya masa lalu itu dapat dibuat lebih jelas. Penelitian arkeologi (dan sejarah), yang memang berkenaan dengan masa lalu, tidak dapat dilihat hanya dengan kacamata ekonomik. Secara ekonomik bisa saja itu dianggap tidak ‘menguntungkan’, namun dilihat dari sudut kebutuhan memperkuat jati diri bangsa; maka sejarah yang jelas adalah sebuah modal pokok untuknya. Bangsa yang dihapus sejarahnya akan menjadi bangsa yang tidak percaya diri, dan dengan demikian dapat lebih mudah dijadikan sasaran dominasi bangsa lain.
Pemanfaatan yang dapat diambil dari kompleks situs Batujaya ini, seperti halnya juga dari situs-situs lain di Indonesia, menjadikannya suatu sumber belajar bagi kalangan yang lebih luas daripada para mahasiswa jurusan Arkeologi saja. Murid-murid sekolah apabila dibawa berdarmawisata ke situs seperti ini, dengan penjelasan yang menarik, tentu akan tumbuh afeksinya kepada sejarah bangsanya sendiri. Di samping pemanfaatan untuk pendidikan itu, kompleks situs seperti Batujaya ini juga dapat dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata. Dalam hal itu, upaya penggalakan pariwisata perlu sekaligus didampingi upaya-upaya pelestarian dan perlindungan agar exposure yang bisa berlebihan itu tidak berdampak negatif, seperti perusakan dan bahkan pencurian.
Sama pentingnya dengan upaya pemanfaatan itu, baik untuk pendidikan maupun untuk pariwisata, diperlukan pula usaha-usaha pemugaran apabila data yang ditemukan tersedia cukup untuk menjadi panduannya. Hal ini pun perlu dilakukan dengan hati-hati sehingga ‘pemalsuan’ yang tak dapat dipertanggungjawabkan tidaklah terjadi.
Demikianlah sejumlah prospek bagi situs Batujaya telah diajukan, dan itu menyangkut penelitian lanjutan, pemugaran, dan pemanfaatan untuk masyarakat luas.
TANGGAPAN
Dari laporan hasil penelitian yang diajukan oleh Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya ini, yang dilaksanakan oleh suatu tim ahli arkeologi yang dipimpin oleh Drs. Hasan Djafar mengenai “Potensi Dan Prospek Kompleks Situs Arkeologi Batujaya” merupakan laporan hasil penelitian yang masuk dalam paradigma prosesual. Tulisan tersebut saya katakan masuk dalam paradigma prosesual karena dalam laporan ini karena memiliki indikator-indikator sebagai berikut:
- Materialistik
Dalam laporan ini melihat budaya sebagai mekanisme/sistem untuk beradaptasi dengan alam sehingga berfungsi sebagai sarana pemenuhan kebutuhan manusia. Hal ini dapat dilihat pada interpretasi laporan tersebut yang menghubungkan data yang ditemukan dengan pola kehidupan di pinggir pantai pada masa lalu.
- Struktur-proses
Dalam laporan ini, dapat diketahui dari temuan yang diperoleh bahwa budaya terdiri atas bagian-bagian yang tersusun dengan pola tertentu, dan mengalami perubahan melalui proses-proses yang dapat diketahui polanya.
- Past is the past
Dimana dari hasil temuan di lapangan dapat diperoleh bahwa data-data tersebut menyebutkan seolah-olah masa lalu itu benar-benar ditemukan kembali sebagaimana yang ada di masa lampau.
- Pendekatan tunggal (metode ilmiah ketat)
Dalam laporan penelitian ini menggunakan cara-cara ilmiah eksakta untuk dapat menemukan “pengetahuan masa lampau” agar dapat diperoleh dalil-dalil yang berlaku umum.
- Penalaran deduktif
Dalam laporan penelitian ini mengikuti alur pikir ilmu eksakta yang dimulai dari dalil-dalil, lalu dirumuskan secara logis menjadi hipótesis. Tolok ukur pengujiannya, lalu diujikan pada data-datanya.
- Pengetahuan obyektif (tunggal)
Penelitian pada laporan ini dilakukan dengan cara ilmiah (metodologi) yang baku, sehingga menghasilkan pengetahuan yang obyektif (semua orang mengakui) yang dianggap yang “paling benar”.
- Bebas nilai (positivist)
Karena obyektif dan ilmiah, dan pengetahuan itu ditemukan kembali, maka tidak ada muatan politik atau maksud-maksud lain di balik itu.
SUMBER PUSTAKA
Sedyawati, Edi. 2006. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.