Salah
satu Bab dalam buku “The Borderlands of Shoutheast Asia: Geopolitics,
Terrorism, and Globalization” yang ditulis oleh Michael Wood membahas
mengenai bagaimana arkeologi, sebuah studi yang mempelajari mengenai budaya
material masyarakat masa lalu telah digunakan dalam mendefinisikan dan
mengkritik sejarah dan perbatasan nasional yang ada di Asia Tenggara. Arkeolog
memiliki cara membaca budaya secara luas dengan cara direkonstruksi atau
diidentifikasi menggunakan artefak untuk membahas budaya yang ada di dunia.
Budaya atau peradaban yang biasa diungkapkan terkadang tidak sama dengan negara
modern (atau dalam ha ini mengenai politik kuno). Hal ini khusus terjadi untuk
wilayah Asia Tenggara, wilayah yang memiliki budaya lama yang lebih besar dan
terbuka untuk mempengaruhi penyeberangan yang terjadi di daerah perbatasan.
Asia Tenggara telah dikenal sebagai sebuah “Persimpangan Jalan” namun uraiannya
tidak akurat.
Secara
historis Asia Tenggara merupakan wilayah yang terbuka, hal ini dapat dilihat dari
beberapa aspek yang menandai budaya daerah, seperti arsitektur Hindu dan Budha,
bentuk pemerintahan dan perdagangan Cina, kelompok imigran Tiongkok, agama
Islam, dan penetrasi ekonomi Barat dan pemerintahan kolonial. Pada tahun
1900-an, seluruh wilayah Asia Tenggara dibawah kontrol kolonial. Otoritas
kolonial memberikan batas-batas wilayah berdasar atas kepemilikan mereka dengan
mengganti bentuk organisasi negara sebelumnya. Intervensi terakhir yang datang
adalah kekaisaran Jepang, yang berhasil mengalahkan kolonialisasi Eropa. Kemenangan
Jepang atas Eropa telah membuka jalan bagi munculnya kemandirian negara-negara
di Asia Tenggara, yang mempunyai tugas membentuk perbatasan Nasional dan
menyatakan sejarah nasional.
Asia
Tenggara sebenarnya dikenal sebagai wilayah yang jarang menjadi korban invasi
tanah, seperti yang dulu sering terjadi di benua Eurasia. Lebih umum, wilayah
Asia Tenggara dikenal sebagai wilayah persimpangan yang merupakan wilayah jalur
kedatangan orang luar melalui jalur laut dari Cina, India, Timur Tengah, dan
pada akhirnya Eropa. Orang-orang asing tersebut pada umumnya datang untuk
berdagang dibandingkan untuk menaklukkan, walaupun pada akhirnya hampir seluruh
wilayah menjadi kehilangan independensinya. Samudra Hindia lama berfungsi sebagai
koridor perdagangan utama menuju ke Cina, India, dan Timur Tengah atau dunia
Mediterania pada sekitar masa kristus. Jaringan perdagangan juga berfungsi
sebagai jalur masuknya keyakinan agama, termasuk Hindu, Budha, Islam dan
Kristen.
Pengaruh
India di Asia Tenggara
Ketika
para sarjana Barat mulai mempelajari tinggalan arkeologi di Asia Tenggara,
mereka dikejutkan oleh budaya India yang sangat mempengaruhi. Adanya kontak
dengan India dan beberapa bentuk kolonialisasi tampak jelas terlihat pada
monumen Hindu yang ditemukan. Teori kshatriya tentang Asia Tenggara yang
diselesaikan oleh prajurit India dan dilengkapi dengan teori Brahmana, yang
melibatkan praktisi agama Hindu telah membawa budaya tinggi ke wilayah
tersebut. Para Brahmana dianggap telah memperkuat para penguasa lokal dengan
melakukan ritual magis, menciptakan simbol mitologis, dan menghasilkan
ikonografi yang sangat bergengsi. Beberapa pendapat menyatakan bahwa peradaban
India dibawa ke Asia Tenggara melalui kedatangan para pedagang dan pengrajin vaisya.
Namun bentuk penjajahan India atau “Indianisasi” yang ada tidak lagi dapat
dipertahankan. Cara memperluas peradaban tinggi India menghadapi zaman batu
dengan inovasi lokal seperti metalurgi dapat dikatakan lambat dan tidak dapat
lagi berkembang. Penelitian arkeologi terbaru telah menetapkan bahwa budidaya
padi berkembang di lembah-lembah utama daratan Kalimantan di Asia Tenggara
antara 2500 dan 500 SM. Pada saat 500 SM sampai sekitar 800 CE, telah terjadi
intensifikasi dan sentralisasi pertanian, bersamaan dengan munculnya inovasi
teknologi dalam penggunaan perunggu dan tembaga besi. Ada banyak permintaan
lokal untuk barang-barang prestise dari India, dimana hal tersebut membantu
meningkatkan status penguasa lokal dan merangsang meningkatnya perdagangan. Hal
tersebut merupakan dampak awal India bertindak sebagai katalis; kehadiran India
memainkan peran secara langsung dan positif sehingga menghasilkan adopsi sistem
penulisan, filsafat politik, dan agama Hindu dan Budha. Hal ini sangat membantu
dalam upaya memelihara kompleksitas di masyarakat Asia Tenggara; kepala daerah
menjadi menarik lebih banyak pengikut dan pengrajin dipekerjakan sekaligus
dimobilisasi oleh penduduk lokal untuk membangun sistem irigasi dan kompleks
percandian. Tepatnya, dinamika mengenai cara India mempengaruhi budaya Asia
tenggara, tampak jelas terjadi pada impor konsep menerima yang hanya terjadi
sejauh melengkapi dan memperkuat tradisi lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.