Selasa, 26 Januari 2021

Prasejarah Sulawesi Selatan

 

 
Sumber: ksmtour.com


Buku Prasejarah Sulawesi Selatan merupakan sebuah buku yang menjelaskan bagaimana proses terbentuknya pulau Sulawesi dan bagaimana kehidupan manusia prasejarah di Sulawesi Selatan. Buku ini ditulis oleh Akin Duli, Muhammad Nur, Aldi Mulyadi, dan Muhammad Tang, pada tahun 2004. Di dalam buku ini dituliskan bagaimana proses terbentuknya Sulawesi, kehidupan manusia prasejarah, dan alat-alat yang digunakan pada masa prasejarah di Sulawesi Selatan. Masa-masa yang dijelaskan berupa masa awal berburu dan mengumpulkan makanan, masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut, masa bercocok tanam, jaman logam, hingga tradisi megalitik di Sulawesi Selatan.

Buku ini menggunakan bahasa yang luwes dan mudah dimengerti, sehingga buku ini dapat dibaca tidak hanya oleh orang-orang sejarah atau arkeolog, namun orang awam pun dapat membacanya. Di dalam buku ini, menjelaskan bagaimana awal terbentuknya pulau Sulawesi, fauna dan flora yang ada di Sulawesi, bagaimana kehidupan masyarakat pada masa prasejarah, alat-alat yang digunakan pada masa prasejarah, dan kepercayaan yang dianut pada masa itu.

Buku Prasejarah Sulawesi Selatan terbagi atas enam bab dan terbagi beberapa sub bab dalam setiap babnya. Bab pertama menjelaskan lingkungan dari alam Sulawesi, yaitu mulai dari proses pembentukan pulau Sulawesi, iklim kala plestosen, dan alam flora dan fauna. Pada bab kedua menjelaskan masa awal, berburu dan mengumpulkan makanan. Dalam bab kedua lebih mendetail menjelaskan mengenai manusia-manusia pertama yang hidup pada masa tersebut, menjelaskan industri masa Paleolitik yang ada di Cabbenge, dan pola-pola yang dilakukan. Pada bab ketiga menjelaskan masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut. Dimana bab ini menjelaskan iklim kala holosen, flora dan fauna, manusia yang hidup pada masa tersebut, bagaimana industri serpih-bilah di Toala, lukisan-lukisan dinding gua, dan bagaimana pola-pola hidup manusia pada masa tersebut.

Pada bab keempat menjelaskan masa bercocok tanam, ayitu manusia-manusia yang hidup pada masa tersebut, jenis-jenis peralatan yang digunakan, dan pola-pola hidup yang diterapkan. Pada bab selanjutnya, yaitu bab lima, menjelaskan jaman logam. Dimana pada bab ini menjelaskan manusia-manusia pendukung dari jaman logam, kemampuan membuat alat, hasil-hasil teknologi logam, teknik pembuatan benda perunggu, teknik pembuatan gerabah, serta gambaran kehidupan sosial, ekonomi dan budaya pada jaman logam. Sedangkan pada bab terakhir, yaitu bab keenam menjelaskan tradisi-tradisi mengalitik yang ada di Sulawesi Selatan. Dalam bab ini menjelaskan bagaimana konsepsi kepercayaannya, bagaimana kebudayaan megalitik itu sendiri, contoh monumen-monumen megalitik, bagaimana kepercayaan terhadap alam kehidupan setelah mati, bagaimana kepercayaan terhadap arwah leluhur, dan bagaimana pandangan kosmik dalam masyarakat megalit.

Buku Prasejarah Sulawesi Selatan ini sangat bagus karena memberikan secara jelas bagaimana prasejarah di Sulawesi, khususnya Sulawesi Selatan. Secara jelasnya, dibawah ini akan dijelaskan rangkuman isi dari buku "Prasejarah Sulawesi Selatan".

Bab I membahas lingkungan dari alam Sulawesi. Pada sub bab pertama dalam bab ini menggambarkan bagaimana proses terbentuknya pulau Sulawesi. Bentuk seperti huruf K yang lazim didengar dan dilihat pada peta-peta maupun atlas, merupakan hasil dari beberapa kali proses geologi yang cukup panjang. Bentuk pulau Sulawesi yang diketahui saat ini, terjadi pada kala Pliosen atas, dan proses pembentukannya jauh sebelumnya. Menurut Audley Charles bahwa Sulawesi merupakan wilayah geologi yang paling rumit. Kerumitan dan keanehan bentuknya yang mengundang perhatian berbagai ahli, baik itu ahli geologi, maupun ahli-ahli lainnya. Penyebutan untuk Sulawesi pun berbeda-beda, yaitu anggrek, laba-laba gila, dan seperti huruf yang goyang.

Sulawesi meliputi tiga propinsi geologi yang kemudian bersatu karena gerakan kerak bumi. Daerah-daerah tersebut adalah propinsi Sulawesi Barat dan Sulawesi Timur, serta propinsi Banggai-Sula. Diperkirakan pada akhir Pliosen (tiga juta tahun yang lalu), Sulawesi Barat bertabrakan dengan Kalimantan Timur yang pada saat itu selat Makassar masih tertutup dan baru terbuka ketika periode Kuarter (Katili,1978). 

Dilihat dari geologi Sulawesi Selatan, yang menarik perhatian dapat dilihat pada geomorfologinya. Dimana secara garis besar, seluruh daerah Sulawesi Selatan dibatasi oleh pegunungan pada setiap sisinya. Kabupaten Soppeng, Wajo, Sidenreng dan Bone merupakan sebuah dataran rendah yang terbentuk karena terjadinya pengangkatan dari bawah muka air (air laut maupun air danau/sungai) yang kemudian terkena proses pengikisan. Dataran-dataran rendah merupakan daerah yang memisahkan antara pegunungan timur dan pegunungan barat. Dataran rendah tersebut berupa rawa-rawa, danau dan air dangkal. Daerah dataran rendah ini merupakan daerah tempat kebudayaan tertua, yaitu masa Plestosen dan ketika masa Holosen, hingga masa sejarah sampai munculnya kerajaan-kerajaan awal di Sulawesi Selatan.

Pada sub bab kedua dalam bab I ini menjelaskan bagaimana iklim pada kala Plestosen. Dimana kehadiran manusia dan beberapa spesis yang paling dekat muncul pada zaman ini. Zaman ini juga biasa disebut zaman es atau zaman glasial. Dimana pada kala Plestosen ini banyak permukaan bumi yang dilanda lapisan es yang cukup tebal. Zaman Plestosen ditandai dengan terjadinya empat kali pengesan besar-besaran, yaitu zaman es Gunz, Mindell, Riss dan Wurm. Zaman-zaman tersebut diselingi oleh tiga kali masa interglasial dengan iklim yang relatif panas. Selain itu, terdapat pula masa intersadia, yaitu masa musim panas yang berlangsung pada waktu yang pendek. Indonesia pada masa Plestosen terdiri atas tiga wilayah, yaitu paparan Sunda, zona Wallacea dan paparan Sahul. Wilayah-wilayah ini pada masa Plestosen merupakan daratan yang terjadi karena penurunan permukaan air laut. Tetapi saat sekarang ini, wilayah-wilayah tersebut sebagian besar kawasannya merupakan kawasan laut dangkal.

Dalam subbab ketiga dari bab I menerangkan flora dan fauna yang hidup pada kala Plestosen. Sebagian besar informasi mengenai tumbuhan purba digambarkan dari analisis sisa-sisa serbuk sari pada endapan organik yang ada di rawa-rawa dan danau-danau. Serbuk sari yang paling tua dikenal dari kerabat pohon-pohon bakau Sonneratia dari batuan tertier di Sulawesi Tengah bagian utara (Solma, 1973). Sedangkan penemuan binatang purba di Sulawesi dapat dilihat di Cabbenge, lembah bekas sungai Walanae purba kabupaten Soppeng dan kedua adalah di gua-gua kapur dekat Maros dan Pangkep. Penemuan-penemuan binatang purba ini berupa spesies stegodon, gajah, babi rusa, monyet (macaque), anoa, kura-kura raksasa, dan lain-lain. Fauna-fauna tersebut memiliki persamaan dengan daerah-daerah lain selain Sulawesi. Hal ini menandakan bahwa memang dahulu Sulawesi menyatu dengan daerah lain, tetapi kemudian berpisah karena adanya proses pengangkatan dari bawah muka iar (air laut maupun air danau/sungai) yang kemudian terkena proses pengikisan. Hal inilah yang menyebabkan ditemukannya beberapa jenis hewan dari luar Sulawesi, ditemukan di Sulawesi.

Dalam bab II membahas tentang masa awal, berburu dan mengumpulkan makanan. Dalam bab ini menerangkan bahwa penemuan alat-alat batu dengan menggunakan teknologi yang sederhana di Sulawesi Selatan, menandakan bahwa daerah ini merupakan daerah yang telah diokupasi dibeberapa daerah sebagai zaman Paleolitik (zaman batu tua). Penemuan-penemuan alat-alat batu tersebut dapat dilihat pada penemuan diberbagai situs di kabupaten Soppeng. Selain itu, pada bab ini juga menjelaskan manusia jenis apa yang mendiami daerah Sulawesi, khususnya daerah Cabbenge. Selain itu, pola kehidupan pada masa ini dapat dilihat dari temuan-temuan alat batunya.

Di dalam bab ini disebutkan bahwa manusia jenis wajak-lah yang mendiami daerah Cabbenge, dilihat dari hasil hipotesis. Dimana hipotesis tersebut menyebutkan bahwa manusia Wajak yang telah menyebar dengan jumlah populasi yang lebih besar dari pithecanthropus, maka dari sinilah ditempatkan bahwa pembuat alat-alat batu Cabbenge sebagai sapiens penghuni awal Sulawesi. Data atau pendapat seperti ini belum bisa menjadi acuan bahwa memang benar bahwa manusia jenis wajak-lah yang pertama kali mendiami Sulawesi. Hal ini harus dibuktikan dengan data yang konkrit, misalnya telah dilakukan penelitian di Sulawesi dan ditemukanlah manusia jenis tersebut.

Selanjutnya, bab III menggambarkan masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut yang disebut dengan budaya mesolitik. Dimana pada masa ini populasi di Sulawesi mengembangkan alat serpih bilah dan lukisan dinding gua. Posisi Sulawesi yang berada ditengah-tengah yang merupakan tempat pertemuan dua arah mata angin, menjadikan iklim di Sulawesi lebih muda ditelusuri dengan melihat curah hujannya. Iklim pada kala Holosen ini dapat dikatakan sama dengan iklim sekarang.

Flora di Sulawesi pada masa ini tergolong sedikit daripada daerah-daerah lainnya. Daerah-daerah yang sangat mudah dilalui oleh tumbuhan pada masa ini melalui Jawa, Nusa Tenggara, Filipina dan Sangihe. Namun tumbuhan dari Kalimantan tidak ditemukan di Sulawesi. Hal ini disebabkan karena selat Makassar pernah terbuka untuk waktu yang lama. Pada akhir kala Plestosen, dimana terputusnya Indonesia dengan dataran Asia hingga membentuk pulau-pulau kecil. Hal ini menyebabkan hewan-hewan yang hidup di pulau-pulau kecil, kemudian hidup terasing dan terpaksa harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya, serta beberapa hewan-hewan tersebut kemudian mengalami evolusi lokal.

Manusia yang hidup pada zaman mesolitik di Sulawesi merupakan populasi Mongoloid. Pada masa ini, alat yang paling menonjol digunakan adalah alat serpih bilah. Selain alat serpih bilah, pada masa ini juga ditemukan kebudayaan lukisan dinding gua.  Kebudayaan lukisan dinding gua ini berupa lukisan cap telapak tangan, gambar babi rusa, ikan, manusia, perahu dan lainnya. Pola hidup manusia mesolitik dipengaruhi oleh iklim, kesuburan tanah, dan keadaan binatang. Kehidupan manusia pada masa ini masih sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Selain itu, manusia pada masa ini telah hidup menetap di gua-gua dan terdapat tumpukan-tumpukan sisa makanan.

Pada bab IV menerangkan bagaimana pola kehidupan manusia telah maju. Dimana manusia pada masa ini telah memiliki perekonomian yang lebih maju dari masa-masa sebelumnya, dan merupakan masa awal penghidupan manusia saat ini. Hal ini ditandai dengan beralihnya pola kehidupan dari berburu dan mengumpulkan makanan beralih ke memproduksi makanannya sendiri. Masa ini juga biasa disebut dengan masa neolitik. Pada masa ini ditemukan kapak lonjong yang berkembang di Indonesia Timur dan beliung persegi yang berkembang di Indonesia Barat. Temuan tersebut di situs Kalumpang dan situs Mallawa. Hal tersebut disebabkan karena faktor geografis pulau Sulawesi yang merupakan jalur migrasi populasi Australomelanesid dan Mongolid.

Manusia pendukung dari masa bercocok tanam yaitu populasi Austronesia yang memiliki ciri fisik ras Mongoloid yang dominan. Jenis peralatan yang digunakan pada masa bercocok tanam mengalami perkembangan teknologi, yaitu dari teknologi serpih beralih ke teknologi upam. Beliung persegi dan kapak lonjong berfungsi secara umum untuk kegiatan bercocok tanam. Hal inilah yang menambah kebutuhan akan peralatan lainnya serta dirangsang oleh perkembangan nilai-nilai hidup, seperti wadah-wadah tembikar dalam berbagai bentuk serta batu ike, alat untuk mengolah kulit kayu menjadi pakaian.

Pola hidup masa bercocok tanam sangat berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Dimana pada masa ini lingkungan sudah stabil dan tidak ada lagi proses geologi. Masa neolitik ini sangat berperan penting karena pada masa inilah penemuan-penemuan baru berupa penguasaan sumber-sumber alam bertambah cepat, tumbuhan dan hewan mulai dipelihara dan dijinakkan, dan pemanfaatan hutan sebagai tempat untuk berladang.

Pada bab V menjelaskan bahwa zaman logam atau zaman perundagian di dunia terbagi atas tiga, yaitu zaman perunggu, tembaga, dan besi. Namun di Indonesia hanya mengenal dua zaman logam, yaitu tradisi budaya perunggu dan besi. Beliung dan kapak batu pada zaman logam masih digunakan, tapi peralatan alat-alat batu mulai berangsur-angsur ditinggalkan ketika kebudayaan membuat alat-alat dari logam mulai dikenal di masyarakat. Alat-alat batu tersebut pada masa ini lebih dihubungkan pada kegiatan-kegiatan upacara, seperti sebagai jimat, benda keramat atau bekal kubur.

Manusia pendukung pada masa ini dapat dilihat pada daerah lain karena belum pernah ada penelitian di Sulawesi Selatan. Manusia pendukung tersebut adalah Australomelanesid dan Mongoloid yang dilihat pada temuan rangka-rangka diberbagai daerah. Pada masa ini pembuatan alat-alat jauh lebih tinggi dari masa-masa sebelumnya. Hal ini ditandai dengan ditemukannya teknik peleburan, pencampuran, penempaan, dan pencetakan jenis-jenis logam. Peranan gerabah pada masa ini pun sangat berarti, hal ini dapat dilihat dari penggunaan gerabah di masyarakat. Selain digunakan sebagai kebutuhan sehari-hari, gerabah juga digunakan sebagai upacara penguburan, misalnya sebagai tempayan kubur dan bekal kubur.

Gambaran kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya pada masa ini dapat dilihat , dimana manusia hidup di desa-desa di daerah pegunungan, dataran rendah dan tepi pantai dalam tata kehidupan yang makin teratur dan terpimpin. Zaman perundagian ini paling menonjol pada segi kepercayaan terhadap arwah nenek-moyang terhadap perjalanan hidup manusia dan masyarakatnya. Oleh karena itu, arwah nenek moyang harus selalu diperhatikan dan dipuaskan melalui upacara-upacara. Selain itu, terhadap orang yang meninggal dunia juga dilakukan persajian dan penghormatan dengan maksud untuk mengantar arwah kembali ke alamnya (puya) agar sampai ke tempat tujuan. Zaman perundagian ini didukung oleh manusia ras Austronesia yang merupakan gambaran keadaan masyarakat zaman sejarah (protosejarah).

Pada bagian bab terakhir, yaitu bab VI menggambarkan tradisi megalitik di Sulawesi Selatan. Tradisi kebudyaan megalitik selalu dihubungkan dengan arwah leluhur atau alam kubur. Monumen-monumen megalitik didirikan dengan maksud agar terhindar dari bahaya yang mungkin mengancam perjalanan arwah sampai ditempat tujuan, dan menjamin keberhasilan serta kesejahteraan bagi orang-orang yang mendirikan, dan keselamatan bagi arwah yang telah meninggal.

Kebudayaan megalitik tidak harus selalu monumen atau bangunan besar, tetapi batu kecil atau tanpa monumen sekalipin, kalau digunakan untuk arwah leluhur, berarti merupakan budaya megalitik. Kebudayaan megalitik berkembang sejak zaman neolitik hingga zaman logam, bahkan budaya megalitik ini masih berkembang sampai sekarang dibeberapa daerah di Indonesia. Kebudayaan megalitik di Indonesia disebut juga tradisi megalitik, baik itu pada peninggalan maupun tradisi yang masih berlanjut.

Tradisi megalitik ini didukung oleh manusia yang menggunakan bahasa Austronesia. Hasil-hasil dari tradisi megalitik manusia ini yaitu alat-alat beliung persegi, benda atau bangunan yang disusun dari batu besar, seperti dolmen, undak batu, limas (piramida) berundak dan pelinggih. Adapun peninggalan tradisi megaliti di Indonesia, yaitu dolme, menhir, teras berundak, arca megalitik, tahta batu, altar batu, lumpang batu, batu dakon, batu bergores, susunan temu gelang, berbagai bentuk penguburan (peti batu, bilik batu, waruga, kalamba, sarkopagus, liang batu, batu pahat) dan lain-lain.


#arkeologi #arkeologiindonesia #tinggalanarkeologi #arkeologiprasejarah #arkeologisejarah #arkeologiklasik #arkeologiislam #arkeologikolonial #heritage #arkeologimaritim #tinggalanmasalalun #tinggalanbudaya #budayamasalalu #sejarahbudaya #indonesia #wonderfulindonesia #heritageindonesia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Artikel Popular Pekan Ini