Budaya keramik di Melanesia dikenal sejak masuknya bangsa Austronesia dari Asia Tenggara sekitar 5000 SM. Pada masa keramik (ceramic) di Melanesia, budaya yang paling menonjol adalah industri gerabah (earten ware) yang dikenal dengan nama budaya Lapita. Budaya Lapita berasal dari percampuran antara bangsa Papua dan Uastronesia yang menjadi penduduk wilayah Melanesia. Dari percampuran tersebut kemudian melahirkan suatu kebiasaan bercocok tanam secara agrikultur berupa tanaman sukun, pisang, ubi, uwi, talas (taro), dan kebiasaan membuat teknologi keramik. Teknologi keramik inilah yang disebut dengan keramik Lapita (Lapita Culture).
Persebaran kebudayaan Lapita di Melanesia diperkirakan sejak 2000 BC yang tersebar dari daratan Papua New Guinea ke Melanesia Timur sampai ke Polinesia bagian barat. Temuan pertama gerabah Lapita adalah di pulau Watom oleh missionaries Katolik pada tahun 1909, kemudian menyusul Tonga dan Iledes Pins di New Caledonia. Daerah-daerah Melanesia yang merupakan tempat temuan gerabah Lapita meliputi: Malo, Nangga, Nenumbo, Santa Cruz, Viti Levu, Mulivanus, Muatoputupu, Vavau, Ha'avia, Tongatapu, dan lain-lain.
Pada umumnya situs-situs yang mengandung gerabah Lapita terdapat di pesisir atau sedikit dekat dengan laut. Hal ini yang menunjukkan adanya pergeseran pola subsistensi dan bercocok tanam ke eksploitasi sumber daya laut, seperti memancing ikan dan mengumpulkan kerang laut. Temuan-temuan pada situs yang mengandung keramik Lapita berasosiasi dengan temuan berupa kulit kelapa, tulang babi dan unggas, pahat batu tak bertangkai dengan potongan melintang berbentuk segiempat, lensa dan setengah oval (plano konvex) yang merupakan proto tipe yang berkembang di Polinesia, alat-alat dari kulit kerang seperti pisau, alat tusuk, mata pancing dan alat-alat perhiasan seperti kalung dan gelang.
Keramik Lapita merupakan tipe keramik yang pertama dibuat oleh bangsa Austronesia setelah masuk ke wilayah Melanesia. Situs perbengkelan keramik Lapita terdapat di Pulau Watom sebelah utara Rabaul, New Britania. Ekakavasi yang dilakukan oleh Gifford dan Shutler di situs Jazirah Foue arah barat daya New Caledonia pada tahun 1952, menyimpulkan tentang arah persebaran keramik Lapita dari Papua New Guinea bagian utara ke Samoa sekitar 1500 BC. Keramik Lapita memiliki ciri-ciri yang khas, adapun ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
- Tanah liat yang dipakai pada keranik Lapita adalah tanah yang telah bercampur pasir (tanah hasil lapukan batuan karst) dan biasanya dicampur dengan kerang yang dihaluskan
- Teknik yang digunakan dalam pembuatan gerabah Lapita adalah dengan menggunakan tatap landas, teknik tangan dan larit
- Bentuk atau tipenya berupa periuk, kendi, mangkuk, gelas, tempayan yang berkarinasi
- Teknik hiasnya berupa teknik gores, tempel, tusuk, tekan, tatap ukir, motif-motifnya garis berliku-liku, bergerigi, lingkaran, titik-titik, mata manusia, garis geometris, dan hiasan lubang-lubang
- Berwarna coklat, abu-abu, kemerah-merahan dan hitam, berslip merah dan biasanya ditaburi bubuk kerang berwarna putih
- Bentuk bibir sederhana dan terdapat pegangan di bahu
Teknik cap bergerigi juga digunakan dalam pembuatan gerabah Lapita. Selain teknik cap bergerigi digunakan pula teknik sederhana yaitu pemasangan jalur (strip) dan bibir ditakik (rim notching). Biasanya pada satu wadah digabung beberapa teknik yang juga menggunakan juga teknik tatap ukir (cerved paddle) secara berputar dengan menyelesaikan permukaan keramik. Pemakaian tatap dengan teknik lilitan tali tidak dikenal seperti yang berkembang pada gerabah neolitik di Asia Tenggara daratan. Hal inilah yang membedakan teknologi gerabah Lapita dengan teknologi gerabah yang berkembang di dataran Asia Tenggara.
Beberapa motif gerabah Lapita memperlihatkan persamaan dengan gerabah dari Gua Kalanay di Pulau Masbate Philipina Tengah, seperti cap bergerigi, cap kerang (shell-edge), gores, cap lekuk-lekuk, tali-tali dan pola seperti bentuk badan berkarinasi (carinated), tangkai tutup dan sabuk (strap) dari karakteristik Yuan-Shan, serta motif lukisan cap tali dan kaki tiga (tripoid). Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara Melanesia dan Philipina pada sekitar awal 1000 BC, gerabah bergores juga terdapat di Timor dan Sulawesi Tengah dari masa sekitar awal 1000 BC.
Di wilayah Melanesia Barat (Irian Jaya), kebudayaan logam berupa temuan bekal kubur di situs Kwadaeware sekitar danau Sentani dan temuan kebudayaan logam lainnya berupa kapak sepatu (sockated), mata tombak (spearhead), gagang pisau dari kuningan dan hulu pedang dari besi. Kebudayaan logam di Melanesia barat merupakan pengaruh dari kebudayaan logam yang berkembang di Asia Tenggara.
Di situs Roy Mata yang terletak di Pulau Retoka New Hebrides ditemukan bukti penguburan secara kolektif dan kelompok susunan batu tegak. Dalam ekskavasi yang dilakukan oleh peneliti Prancis, Jose Garanger pada kelompok susunan batu tegak. Dalam ekskavasi yang dilakukan oleh peneliti Prancis, Jose Garanger pada kelompok susunan batu tegak, diperoleh bukti adanya penguburan dengan pengorbanan manusia yang berasal dari masa sekitar 1265 +/-140 AD. Selain tempat penguburan, didapatkan juga batu bergrafis (hias), lantai rumah dan komplek upacara.
Selain gerabah Lapita, dibeberapa situs juga terdapat gerabah non-Lapita yang sampai sekarang belum diketahui penyebarannya secara mendalam. Pulau-pulau yang memiliki temuan gerabah dan dikelompokkan sebagai non-Lapita, yaitu New Caledonia, Fiji, Moindou, Podtaneau, Erueti, Ratoka, Tonga dan sebagainya. Temuan gerabah non-Lapita disebut dengan gerabah berselip merah yang tidak memiliki ciri-ciri gerabah Lapita.
Sementara itu artefak non-keramik dari budaya Lapita terutama di situs-situs seperti Tongatopu, temuannya berupa: gelang kerang, manik-manik dari kerang, mata pancing dan jarum tulang. Temuan yang paling menarik adalah penguburan kolektif yang ditemukan di Roymata pada tahun 1967 oleh Jose Garanger.
Pada masa berikutnya, terutama pada zaman Megalithik di Melanesia ditemukan situs-situs yang secara umum mengandung peninggalan berupa rumah panggung, tempat penguburan , tempat pemujaan, undak-undak batu dan kompleks penguburan beserta menhir yang merupakan temuan mayoritas dari situs-situs tersebut. Demikian pula lukisan dinding batu dengan pola-pola seperti lingkaran, garis-garis dan manusia.
Referensi:
Bellwood, Peter. 1978. Man's Conquest of The Pacific. New York: Oxford University Press.
Bellwood, Peter. 2000. Edisi revisi: Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.