Jumat, 16 April 2021

TEORI DASAR PERBURU PERAMU

Berbagai teori dasar telah dimunculkan dan dikembangkan sehubungan dengan penelaahan terhadap masyarakat perburu dan peramu. Teori-teori dasar yang dimaksud adalah; “Hunter-Gatherer as Primitives” theories, “Hunter-Gatherer as Lay Ecologist” theories, dan “Hunter-Gatherer as Optimal Forager” theories

Teori bahwa masyarakat perburu dan peramu adalah masyarakat primitive pertama kali dicetuskan oleh Lewis Henry Morgan, seorang pengacara yang beralih profesi menjadi etnografer. Ia membagi perkembangan yang telah dicapai oleh umat manusia dalam tiga periode besar yakni: savagery, barbarism, dancivilization. Ketiga kelompok ini iabagi lagi menjadi: 1) Lower status of savegery, 2) Middle status of savegery, 3) Upper status of savegery, 4) Lower status of barbarism, 5) Middle status of barbarism, 6) Upper status of barbarism, 7) Status of civilization. Sayangnya, teori ini tidak dapat bertahan lama oleh karena fakta lapangan menunjukkan bahwa perkembangan suatu masyarakat acap kali tidak mengikuti arahp anah perkembangan sebagaimana yang dikemukakan oleh Morgan.

Sebuah pergulatan pemikiran dalam studi etnografik—terutama di Australia dan Afrika— yang terjadi sepanjang tahun 1960-an kemudian menimbulkan keyakinan bahwa “hunter-gatherer” mungkin tidaklah terlalu primitif, yang berlawanan dengan keyakinan yang sudah tersebar luas. Perburu-peramu dianggap sebagai kelompok masyarakat yang sudah hampir punah—tetapi penelitian membuktikan secara mengejutkan bahwa: kehidupan mereka tidaklah buruk, tidaklah liar dan hidup mereka tidak juga terlalu singkat.

Ahli antropologi Richard Lee (salah seorang penggagas teori tentang perburu peramu yang melihatnya dari sudut pandang ekologis) sebagai contoh—yang menemukan bahwa air merupakan satu-satunya hal yang sangat penting bagi para perburu dan peramu dalam mempertahankan kehidupannya, oleh karena aliran air secara praktis tidak dikenal di padang pasir Kala Hari, maka masyarakat !Kung mencari sumber air. Dia mencontohkan masyarakat !Kung dalam upaya adaptasi terhadap lingkungan untuk membuktikan hubungan antara masyarakat, lingkungan, dan kebudayaan. Ternyata, masyarakat !Kung adalah prototipikal perburu-peramu yang: mendapatkan makan yang bagus, bekerja dalam waktu yang singkat, pengumpulan makanan dari tumbuh-tumbuhan yang dilakukan olehwanita yang mempertahankan populasi mereka karena sumberdaya local terancam. Berdasarkan penggambaran masyarakat !Kung, akhli antropolog yang bernama Marshall Sahlin menyatakan dengan suaralantang bahwa: “perburu-peramu adalah masyarakat asli yang makmur”.

Setelah beberapa decade berlalu, para arkeolog dan etnoarkeolog mulai mendekati masyarakat perburu-peramu dari berbagai prespektif lalu memunculkan teori-teori yang disebut sebagai “Optimal Forager.” Beberapa peneliti melihat masyarakat !Kung dari pandangan berbeda dari sebelumnya. Mereka kemudian menyimpulkan bahwa orang-orang yang berpindah-pindah untuk mencari makan, barangkali pada akhirnya tidak akan pernah makmur. Peneliti-peneliti lain yang mengembangkan dan mempelajari kelompok nomaden dan menemukan bahwa !Kung tidaklah begitu khas.


Model TeoritisPerburu Peramu

Berbagai seminar dan symposium tentang masyarakat perburu dan peramu—baik yang masih hidup dalam alam modern sekarang maupun masyarakat yang telah punah—telah digelar di berbagai belahan dunia. Hasil karya-karya dar isimposium maupun seminar itu kemudian membuahkan suatu model perburu-peramu yang pada dasarnya dekriptif, yang mencoba menggabungkan karakteristik gaya hidup masyarakat perburu dan peramu yang menonjol. Rangkuman pokok-pokok model deskriptif/normative tersebut sebagai berikut: pertamasubsistensi perburu-peramu terutamabergantung pada sumber-sumber tumbuh-tumbuhan, kerang-kerangan, ikan, dan hewan buruan kecil, tetapi hewan buruan besar adalah bagian diet yang sangat kecil (Lee dan Devore 1968:7). Selajutnya, oleh karena itu, wanita dan bukan pria, yang menjadi penyedia (pencari nafkah) utama.

Kedua perburu-peramu tidak terlalu sulit dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya (Gould 1969a; Lee 1969; Sahlins 1968). Kebanyakan kelompok hanya meluangkan sebagian kecil waktu mereka dalam mendapatkan dan mengolah sumber pangan (Lee dan Devore 1968:6). Ketiga, kegagalan dalam pemanfaatan sumberdaya dengan intensitas yang lebih tinggi, dianggap sebagai pencerminan dari penyesuaian "tingkat pemenuhan/pemuasan kebutuhan" karena segalanya diperoleh tanpa kesulitan yang berarti (Sahlins 1968:85--9). Keempat kepadatan populasi sangat rendah, yaitu berkisar antara 0,05--0,001 individu/km dan mungkin bertahan hingga atau sekitar 30--70 % dari daya dukung potensial lingkungan (Birdsell 1968; Lee dan Devore 1968:11). Kelima, pengaturan demografik terdiri dari dua tingkatan organisasi: kelompok maksimum atau jaringan perkawinan (connubium; terdiri dari kurang lebih 500 individu) dan kelompok minimum, atau kelompok lokal, terdiri dari kira-kira 25 individu (Birdsell 1968; Steward 1969; Wobst 1974). 

Keenam, organisasi social sangat sederhana. Kebanyakan interaksi terjadi inter kelompok lokal, meskipun secara periodic terjadi berkumpulnya kelompok yang lebih besar yang menyamai kelompok maksimum (Helm 1968, 1969a; Leacock 1969; Wobst 1976; Damas 1969b). Ketujuh, penggabungan cenderung bersifat bilateral, komposisi kelompok berubah dan tidak stabil, dan konsep-konsep territorial berkembang lemah (Damas 1969b; Turnbull 1968; Woodburn 1968; Lee dan Devore 1968:7--9; Stewrad 1955; Lee 1972; Yellen danHarpending 1972). Kedelapan, kebanyakan kelompok bersifat egaliter (Fried 1960), status dipandang dari usia, jenis kelamin dan kemampuan hasil kerja (Steward 1955; Service 1962). Kesembilan, kepemimpinan umumnya sangat singkat dan kecil pengaruhnya kecuali sebagai penasehat (Steward 1955; Flannery 1972; Damas 1969b; Gould 1969b:90; Woodburn 1968:105).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Artikel Popular Pekan Ini