Jumat, 07 Mei 2021

Teori Kritis dan Penerapan Teori Tentang Kota dalam Arkeologi

 Teori Kritis

Teori kritis pertama kali muncul sekitar tahun 1970's, terutama berasal dari diskusi-diskusi para pakar ilmu sosial di Frankfurt School Jerman. Dalam arkeologi, pemikiran ini sangat terasa pada buku Reading the pastnya Hodder dan buku Re-Constructing Archaeology-nya Tilley and Shank.

Teori kritis dicirikan dengan Anti-Sain, yakni pengetahuan pada dasarnya adalah hasil  dari sejarah, komunikasi yang sudah bias, dan tidak ada yang obyektif . Anti-positivis, yakni pengetahuan yang katanya didapatkan melalui pengujian yang ilmiah, yang pada dasarnya juga sudah dirasuki oleh gagasan-gagasan penelitinya, untuk memperkuat dominasi mereka dalam masyarakat.

Adapun pemahaman tentang sesuatu dalam perspektif teori kritis, tergantung pada hubungan dialektika antara bagian dan keseluruhan (hermeunetik). Dan sesuatu baru menjadi berarti jika dikaitkan dengan teori atau sudut pandang tertentu yaitu debat etik dan emik.

Sedangkan budaya dalam perspektif teori kritis merupakan sesuatu yang bersifat "refleksif". Dimana budaya bendawi tidak hanya sekedar "refleksi" dari sebuah sistem ekonomi, organisasi sosial, dan ideologi, akan tetapi juga merupakan "alat" untuk menciptakan sebuah "makna" dan "tatanan" dalam suatu masyarakat. Maka sebb itulah, Budaya bendawi dan maknanya menjadi aspek kajian yang penting. Dari pemikiran teori kritis ini muncullah beberapa kajian baru dalam arkeologi yaitu:

  • arkeologi interpretif
  • historikal-partikularistik
  • arkeologi alternatif (pseudo-archaeology, Gender-archaeology, dan Indigenous-archaeology)


Teori Tentang Kota

Berdasarkan data tertulis dan data arkeologis, di Nusantara banyak terdapat kota kuno yang merupakan perkembangan dari sekelompok pemukiman. Dari kelompok peukiman tersebut, terdapat pemukiman-pemukiman kuno yang mengalami perkembangan pesat, ada yang lambat, dan ada pula yang mati atau tidak berkembang lagi. Hal itulah yang melatarbelakangi munculnya kajian arkeologi pemukiman, dimana salah satu aspek khususnya mengkaji tentang kota. 

Penelitian tentang kota-kota pemukiman pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia saat ini telah banyak dilakukan. Kota-kota tersebut menunjukkan suatu ciri tertentu, baik pada struktur fisik, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat pendukungnya. Menurut Uka Tjandrasasmita, pola kota kuno Islam di Indonesia mempunyai ciri-ciri:
  1. Alun-alun terletak di tengah kota,
  2. Tempat-tempat dan bangunan penting seperti istana, masjid dan pasar berpusat di sekitar alun-alun, dan
  3. Pemukiman dan perkampungan penduduk dapat dikelompokan menurut status sosial, ekonomi, etnis, dan status kekuasaan dalam masyarakat (Tjandrasasmita, 1988:10).

Ciri utama dari kota-kota pusat kerajaan (city state) adalah keberadaan keraton (istana) sebagai pusat kota. Istana di Jawa (dan juga di Banda Aceh Darrussalam sebagai ibu kota kerajaan Aceh Darrussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat syah pada akhir pertengahan abad 16 M) menghadap ke arah utara dan dihadapannya terdapat sebuah alun-alun (courtyard) besar. Di sebelah barat alun-alun terdapat masjid Agung (masjid Jami) dan di sebelah timur alun-alun terdapat sebuah pasar (Ambary, 1999:v).

Selain istana, masjid, dan alun-alun, di dalam lingkungan kota kuno Islam, juga biasa terdapat pasar dan perkampungan. Kampung-kampung yang ada di dalam kota letaknya didasarkan pada status sosial ekonomi, keagamaan, dan kekuasaan dalam pemerintahan (Mahmud, 2003:45).

Kota-kota pemukiman, baik yang sudah berubah karena perkembangan fisik bangunan maupun masyarakatnya, serta kota pemukiman yang sudah mengalami keruntuhan atau kemusnahan, namun kota tersebut masih dapat dikenali dari peninggalan purbakalanya dan toponim tempat-tempat perkampungannya (sub urban) (Tjandrasasmita, 1983:760). Nama-nama tempat (toponim) di dalam kota akan menunjukkan segala bentuk dan jenis kegiatan (aktivitas) masyarakat kota, meliputi pula jenjang-jenjang kedudukannya (Hendro, 1995:53).

Di dalam masyarakat kerajaan, biasanya terdapat tempat-tempat penguasa, baik raja atau golongan-golongan atas, mempunyai tempat-tempat yang dilindungi oleh perbentengan. Namun pengecualian terdapat pada beberapa kota terutama yang menjadi pusat kekuasaan, terdapat pula perbentengan-perbentengan untuk kepentingan keamanan masyarakat dan para penguasanya. Adapun Kota-kota pra industri sebagai pusat kekuasaan dengan struktur birokrasinya, memerlukan penempatan atau pelokasian tertentu yaitu untuk raja atau penguasa, keluarga raja, perwira atau ksatria, kaum bangsawan, para pejabat birokrasi pemerintahan, golongan yang berperan dalam 
agama, para pekarya atau tukang yang memiliki keahlian tertentu. Karena itulah maka tumbuh perkampungan (sub urb) seperti istana (tempat tinggal raja dan keluarga), kepatihan (tempat tinggal patih/perdana menteri), kesatrian (tempat tinggal perwira atau ksatria), kauman (tempat tinggal pemimpin agama), pengukiran (tempat tinggal tukang ukir), kemasan (tempat tinggal pande emas), pagongan (tempat tinggal tukang pembuat gamelan), pajunan (tempat tinggal pembuat gerabah) (Tjandrasasmita, 1983:765,1993:254; Ambary, 1999:v ).

Kota-kota Islam di Indonesia dapat dikategorikan dalam dua kelompok, yang pertama adalah kota pusat perniagaan (emporium). Kategori yang kedua adalah kota-kota yang menjadi ibu kota atau pusat kerajaan (city state) seperti Pasai, Banten, Cirebon, Demak, Ternate dan sebagainya (Ambary, 1999:v). Sistem penentuan peletakkan kota serta bangunan-bangunan didalamnya dan perkampungan yang merupakan bagian dari kota, sudah tentu mempunyai hubungan yang erat dengan kehidupan sosial budaya dan teknologi masyarakat itu sendiri (Tjandrasasmita, 1983:762).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Artikel Popular Pekan Ini