Berkembangnya kota-kota besar di Indonesia sekarang ini tidak lepas dari peranan bangsa Eropa terutama Belanda pada saat mereka menguasai hampir seluruh wilayah kepulauan Nusantara, yang memulai perkembangannya dengan kehidupan dalam benteng (intra muros). Ini dibuktikan dengan masih dominannya struktur fisik kota-kota di Indonesia yang pernah dirancang oleh bangsa Eropa, seperti yang tampak pada kota Jakarta, Surabaya, Makassar bahkan Semarang disebut sebagai "Little Netherlands" dan Bandung sebagai "Paris Van Java". Hal ini membuktikan bahwa kota-kota tersebut tetap menampilkan struktur kota kolonial sebagai bagian dari perkembangan kota.
Perkembangan kota di Indonesia sendiri pada awalnya banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya India, Cina dan Islam. Nurhadi (1992) mengemukakan bahwa awal pembentukan kota di Indonesia dimulai sejak akhir masa prasejarah dengan terbentuknya desa dan mengalami perkembangan yang cukup berarti dengan masuknya pengaruh budaya India dan Cina. Hal ini ditandai dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha pada sekitar abad IX yang diikuti dengan tumbuhnya pusat-pusat pemukiman masyarakat Cina. Pengaruh budaya tersebut sangat terasa pada konsep seni bangunan yang dapat dilihat pada peninggalan-peninggalan arsitektur yang monumental.
Tentang babakan perkembangan kota di Indonesia, Lombard secara spesifik membagi sejarah pertumbuhan kota di Asia Tenggara dan Indonesia dalam empat periode yaitu: pertama dimulai dari abad ke III-IX, kedua dari abad ke IX-XV, ketiga dari abad ke XV-XVIII, dan keempat pada abad ke XIX-XX (Lombard dalam Sumalyo, 1993:3-4). Periode pertama dan kedua yang dikemukakan oleh Lombard tersebut memberikan gambaran tentang berkembangnya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Nusantara dengan adanya candi sebagai bukti monumental. Pada periode ketiga dipengarhui oleh budaya Islam dengan adanya mesjid sebagai unsur utama dalam pembentukan struktur kota dan periode keempat perkembangan kota di Indonesia didominasi oleh bangsa Eropa dengan adanya bangunan-bangunan berarsitektur Eropa.
Selain periodisasi yang dikemukakan oleh Lombard, Peter J.M.Nas juga mengemukakan pembagian kota di Indonesia berdasarkan perkembangannya yaitu: kota awal Indonesia, kota Indis, kota Kolonial dan kota Modern (Nas dalam Soekiman, 2000:193). Yang dimaksud kota awal Indonesia adalah berkembangnya pusat-pusat pemukiman pada masa kerajaan yang dipengaruhi oleh Hindu-Budha dan Islam, kota Indis muncul bersamaan dengan awal kedatangan bangsa Eropa yang menyebabkan adanya perpaduan budaya barat (Eropa) dan timur (lokal). Kota Kolonial terbentuk karena adanya pemisahan budaya yang terjadi secara perlahan-lahan karena besarnya arus pendatang yang memperkuat administrasi pemerintahan dan perusahaan swasta. Kota Modern berkembang pada masa kemerdekaan dengan munculnya bangunan-bangunan pencakar langit. Ditandai dengan pembangunan gedung-gedung dalam rangka program politik "Nation Building" oleh Soekarno, diantaranya gedung pola, mesjid Istiglal, Monas, dan Gelora Bung Karno. Dengan demikian perkembangan kota-kota di Indonesia tidak lepas dari pengaruh-pengaruh asing yang masuk ke nusantara setelah akhir masa prasejarah.
Kedatangan bangsa Eropa sendiri khususnya Belanda di Indonesia didasari atas tujuan perdagangan. Pada awal kehadirannya, sekitar abad XV-XVI mereka mendirikan loji-loji perdagangan (gudang) untuk menimbun barang dagangan berupa rempah-rempah dan sebagainya. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya loji-loji tersebut dibeberapa kota pelabuhan di Nusantara seperti Banten, Surabaya dan Makassar. Pembangunan loji-loji tersebut merupakan usaha awal Belanda untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Usaha untuk menguasai Nusantara semakin mantap dengan menjadikan loji-loji tersebut sebagai benteng pertahanan. Selain itu, maksud memperkuat bangunan-bangunan tersebut adalah sebagai pertahanan dalam bersaing dengan pedagang-pedagang bangsa lain sekaligus sebagai tempat tinggal. Beberapa contoh bangunan benteng tersebut adalah Fort Jacatra di Batavia, Fort Vastenburg di Solo, Fort Vredeburg di Yogyakarta, Fort Belvedere di Surabaya dan Fort Rotterdam di Makassar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa cikal bakal kota-kota di Indonesia sebagai kota kolonial memiliki persamaan yaitu berawal dari bangunan benteng.
Dari bangunan benteng itulah Belanda kemudian melakukan pengawasan terhadap daerah kekuasaannya. Selain itu, benteng juga menjadi kawasan pemukiman Belanda dan berfungsi antara lain sebagai pusat pemerintahan, militer, dan pertahanan bahkan ada juga yang berfungsi sebagai pusat perdagangan dan pelabuhan. Kemudian, setelah keamanan disekitar benteng dapat dikendalikan, perlahan-lahan kehidupan dalam benteng mulai ditinggalkan dan beralih di luar benteng. Selain itu akibat desakan kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan iklim, alam sekeliling, demi kekuasaan dan tuntutan hidup sesuai dengan daerah tropis, yang kemudian membuat didirikannya rumah tempat tinggal serta kelengkapannya yang disesuaikan dengan keadaan dan mengambil unsur budaya setempat. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumalyo, yang mengemukakan bahwa pada masa penjajahan Belanda, bentuk kota dan bangunan di Indonesia dikembangkan oleh para arsitek Belanda dengan menerapkan konsep lokal atau tradisional. Oleh karena itu, kajian tentang kota kolonial menjadi penting untuk dapat mengungkapkan unsur budaya lokal yang nampak pada bentuk dan morfologi kota yang dikembangkan oleh Belanda.
Referensi:
Nurhadi, 1992. "Arkeologi Kota", Pokok-pokok Metode Arkeologi, Ujung Pandang: Ikatan Mahasiswa Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin
Soekiman, Djoko. 1997. "Seni Bangunan Gaya Indis, Pemilikan, Pelestarian, dan Pemanfaatannya", Diskusi Ilmiah Arkeologi VII, Yogyakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda D.I.Yogyakarta.
Wiryomartono, A.Bagoes P. 1995. Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia (Kajian Mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik Kota Sejak Peradaban Hindu-Budha, Islam Hingga Sekarang). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum
Soekiman, Djoko. 2000. Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII-Medio Abad XX). Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Sumalyo, Yulianto. 1999. "Ujung Pandang erkembangan Kota dan Arsitektur Pada Akhir Abad 17 hingga Awal Abad 20", dalam Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof.Dr.Denys Lombard, Ecole Francaise d'extreme-Orient, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.