Agama Islam masuk di Buton, erat kaitannya dengan berkembangnya perdagangan antara Maluku dengan kawasan Barat Nusantara. Dimana Buton merupakan jalur pelayaran dan perdagangan. Namun jauh sebelum masuknya Islam di Buton, telah terjadi kontak dagang antara masyarakat Buton dengan bangsa-bangsa lain, khususnya bagi masyarakat pesisir seperti wilayah Batauga dan Kamaru yang menjadi tempat persinggahan para pedagang dari dan ke Maluku. Masyarakat Bataug dan Kamaru diduga lebih awal menganut Islam namun tidak secara terang-terangan, kecuali setelah Raja MulaE menyatakan diri memeluk Agama Islam pada tahun 933 H/1527 M. Beliau kemudian diberi gelar Umar Idam maka setelah itu Agama Islam mulai berkembang di lingkungan istana. Seteelah pengganti Raja MulaE memerintah sebagai Raja Wolio VI (Lakilaponto), maka penyebaran Islam disegenap wilayah Kerajaan Wolio sedikt demi sedikit mulai meninggalkan kepercayaan lamanya.
Perkembangan Agama Islam di Buton semakin cepat setelah datangnya seorang Muballigh Islam bernama Syeh Abdul Wahid pada tahun 948 H/1538 M. Setelah Lakilaponto diangkat menjadi Raja Wolio VI dan menyatakan diri memeluk Agama Islam, maka beliau megembangkan pula ajaran Islam keseluruh wilayah Kerajaan Wolio. Tidak hanya itu, beliau juga mengubah struktur dan sistem pemerintahan Wolio dengan menyesuaikan ajaran agama Islam. Bentuk pemerintahan kerajaan berubah menjadi kesultanan, dan nama Wolio diganti menjadi Buton yang berasal dari Bahasa Arab "Batnun" yang berarti perut. Nama tersebut diasumsikan lahir karena menurut cerita tradisonal di Buton menyatakan bahwa Buton merupakan salah satu pusat bumi.
Sejak Lakilaponto memimpin, pengubahan nama kerajaan menjadi Kesultanan Buton I dan beliau dikenal dengan gelar Sultan Kaimuddin Khamiz dan setelah wafat diberi gelar "Murhum". Usaha Sultan Kaimuddin menyebarkan Islam, juga dilakukan dengan mendirikan Masjid Kaliwu-Liwuto. Masjid ini dijadikan sebagai pusat kegiatan syiar Islam termasuk sebagai tempat pelantikan Sultan Buton.
Pada masa pemerintahan pengganti Sultan Kaimuddin yaitu La Tumparasi kemudian La Sangaji karena akibat situasi perekonomian negara mengalami kemerosotan sehingga yang dilakukan hanya tetap melanjutkan penyebaran agama Islam keseluruh wilayah Kesultanan.
Pada masa pemerintahan Sultan Buton IV La Elangi yang bergelar Sultan Dayanu Ihsanuddin, agama Islam semakin besar dan beliau mendirikan lembaga pendidikan yang disebut Zaawiah semacam pesantren dan membentuk kelompok-kelompok pengajian yang diselenggarakan di dalam istana dan rumah-rumah penduduk dengan bahan ajarannya meliputi: Al-Quran, Hadist, Fiqhi, Tasawuf, dan Bahasa Arab. Pendidikan pun semakin berkembang setelah kedatangan para mubaligh dari luar seperti Firus Muhammad dari Arab, Abdullah bin Sulaiman dari Pasai, dan seorang putra Keraton Buton bernama H. Muhmmad Ismail. Beliau pun kemudian mengembangkan Agama Islam sampai di wilayah-wilayah pedalaman Kesultanan Buton.
Pada masa pemerintahan Sultan Dayanu Ihsanuddin, diterapkanlah Undang-undang pemerintahan yang berdasarkan agama Islam yang disebut Murtabat Tujuh. Undang-undang ini berasal dari ajaran Tasawuf bersifat wujudiyah yan mirip dengan ajaran Hamzah Fansuri dan siswanya Syamsuddin Al-Sumaterani dari Aceh. Namun menurut pengakuan masyarakat Buton, Murtabat Tujuh dibawa oleh Firus Muhammad yang datang langsung dari Arab.
Selain itu, pada masa pemerintahan Sultan La Ngkariri Zakiuddin Darul Alam (Sultan Buton XIX), datanglah dua orang mubaligh Islam yaitu Syarif Muhammad dan Sayed Alwi. Mereka mempelopori pembangunan Mesjid Keraton Buton. Adapun pada masa pemerintahan Sultan La Jampi Muhammad Kaimuddin (Sultan Buton XXVI) dibangun sebuah perpustakaan kesultanan untuk menghimpun buku-buku agama. Perpustakaan tersebut juga difungsikan sebagai lembaga pendidikan agama yang dipimpin langsung oleh Sultan.
Dalam upaya mempermudah komunikasi dan pengkajian terhadap ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, maka ditetapkan aksara Arab sebagai bahasa resmi selain bahasa Wolio. Selain itu, pada bidang kesenian, Sultan Muhammad Aidrus Kaimuddin menciptakan syair Islam, baik berbahasa Wolio maupun bahasa Arab seperti: Bulamalino, Jauhari Manikam, Raudatu, Akhan dn Takhainul Aulaadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.