Minggu, 02 Januari 2022

Sejarah Kebudayaan Maritim

Sejarah tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan, demikian pula sebaliknya, kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari sejarah. Oleh karena itu, ketika membahas mengenai kebudayaan maritim, tentu harus pula membahas mengenai latar sejarahnya. Para ahli sejarah berkebangsaan Eropa pernah mengungkapkan sebuah pernyataan bahwa sesungguhnya nenek moyang bangsa Indonesia adalah yang datang dari Asia Tenggara (Indochina/Yunan) dalam dua gelombang migrasi besar-besaran, yaitu pada 5000 tahun SM danpada 2000 tahun SM melalui laut dan dalam melakukan perjalanan tersebut, sumber penghidupan sangat bergantung dari laut. Fakta prasejarah Cadas Gua yang terdapat di pulau Muna, Seram, dan Arguni yang diperkirakan berasal dari 1000 tahun SM dipenuhi dengan lukisan perahu layar. Selain itu juga terdapat beberapa artefak suku Aborigin di Australia yang diperkirakan berasal dari 2500 tahun SM, serupa dengan tumuan di pulau Jawa. Kenyataan ini memberikan indikasi bahwa jauh sebelum gelombang migrasi dari Indochina yang datang ke Indonesia, nenek moyang bangsa-bangsa yang ada di Nusantara, telah berhubungan dengan suku Aborigin di Australia lewat laut.

Pada jaman Hindu-Budha, mulai menyebar kebudayaan Hindu-Budha di kepulauan Nusantara. Kerajaan-kerajaan yang berada di Nusantara melakukan kegiatan maritimyang sangat aktif, baik intra insular maupun ekstra insular, hingga ke India dan Cina. Kepulauan Nusantara pada saat itu merupakan wilayah yang kaya dengan komoditas perdagangan dan geoposisi wilayah Nusantara merupakan posisi silang, dimana terdapat jaringan komunikasi dan transportasi maritim (misalnya rute Cina-Taruma-India). Hal ini ditandai dengan ditemukannya artefak Cina dan India di Situs Batu Jaya Karawang. Salah satu kerajaan Hindu yang berada di kepulauan Nusantara yaitu Kerajaan Sriwijaya yang sangat berjaya dan memiliki visi kemaritiman untuk menguasai jaringan transportasi dagang, jaringan komoditas, dan jaringan pelabuhan terutama disekitar Selat Malaka. Selain itu, Kerajaan Sriwijaya memiliki sistem pemerintahan maritim yang kuat dan efektif serta tercatat sebagai pemerintahan dengan kekuatan laut yang diperhitungkan pada masanya.

Di pulau Jawa terdapat kerajaan Hindu Majapahit yang mencapai puncak kejayaannya berdasarkan visi maritim. Wilayah kekuasaannya merupakan sebaran kerajaan bawahan yang memiliki pelabuhan dan komoditas dagang vital terutama beras.Kapal-kapal dan para pelaut Jawa tercatat dalam kronik-kronik di mancanegara (Sukodaya-Thailand dan Pegu-Myanmar) sebagai manifestasi kejayaan negara maritim Majapahit yang juga menjadi pusat budaya dan peradaban di Nusantara. Selain itu kekuatan maritimnya merupakan modal dasar untuk melakukan kolonisasi, ekspansi dan penetrasi budaya di zaman tersebut.

Sementara itu, kerajaan dan kesultanan Islam pesisir utara Jawa, Demak, Bintara, Tuban, Lasem dan Jepara melanjutkan tradisi maritim Majapahit sekaligus menyebarkan (prolifikasi) agama Islam dan menantang keberadaan kekuatan maritim Portugis yang mulai merajalela di Nusantara karena dorongan dinamika lingkungan ekonomi strategis (direbutnya Konstantinopel oleh Turki Osmani yang mengakibatkan terganggunya perdagangan komoditas rempah-rempah dan barang mewah dari Asia). Pada masa yang sama, kerajaan Banten pun berkembang menjadi kekuatan maritim yang mengendalikan wilayah barat Nusantara dan mengendalikan perdagangan lada. Peran kekuatan maritim dari kerajaan Demak digantikan oleh kerajaan Mataram yang sampai abad ke-XVII masih dapat diperhitungkan sebagai negara maritim. Perubahan visi pemerintahan dan kekalahan dalam persaingan melawan VOC (kompeni dagang Hindia Timur) membuat Mataram kemudian menjadi lemah dan bervisi darat.

 Abad ke-XVII ditandai juga dengan berjayanya kerajaan maritim Aceh yang melanjutkan tradisi kerajaan Sriwijaya menjadi kekuatan maritim yang mengendalikan alur laut perdagangan di sekitar selat Malaka sampai awal abad ke-XVIII sebelum akhirnya sudah tidak sanggup untuk bersaing dengan kekuatan maritim imperialis barat Belanda dan Inggris. Di kepulauan Nusantara bagian Timur, terdapat Kesultanan Makassar dan konfederasi kerajaan etnis Bugis (Bone, Sawito, Luwu, Tanete dan lain-lain) yang berwawasan maritim menjadi dua kekuatan yang mengendalikan wilayah perdagangan dan wilayah komoditas. Sifat diaspora (penyebaran) dari kedua kelompok etnis ini membuat merekahadir dimana-mana dan dapat mempertahankan budaya maritimnya higgga sekarang, meskipun kedua kerajaan tersebut pun tidak sanggup menghadapi kekuatan maritim imperialis Barat (VOC maupun Belanda).

Adapun untuk wilayah bagian timur terdapat Kesultanan Ternate dan Tidore yang menguasai sumber komoditas sangat penting seperti rempah-rempah, dan mengendalikan perdagangan dan jaringan transportasi serta komunikasi wilayah Timur Nusantara. Tradisi insularitas kedua kesultanan ini sangat terlihat dan merupakan satu ciri pemahaman geostrategi "perfect isolation" di Kepulauan Nusantara.

Kejayaan bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim pernah mengalami keterpurukan. Hal ini terjadi setelah masuknya VOC ke Indonesia (1602 M - 1798 M). Salah satu peristiwa bersejarah hilangnya kejayaan tersebut adalah dengan keluarnya perjanjian Giyanti tahun 1755 yang dilakukan oleh Belanda dengan Raja Surakarta dan Yogyakarta. Kedua raja keturunan Mataram tersebut menyerahkan perdagangan hasil bumi dan rempah-rempah dari wilayahnya kepada Belanda. Keputusan kedua raja yang telah dikendalikan oleh Belanda, membuat melemahnya kemampuan maritim bangsa Indonesia. Hal tersebut membuat membuat penurunan semangat dan jiwa maritim bangsa, serta perubahan terhadap nilai-nilai sosial dalam masyarakat Indonesia yang semula bercirikan maritim menjadi bersifat kedaratan.

Selain itu, yang menyebabkan keterpurukan Negara Maritim Nusantara pada umumnya disebabkan karena ketidakmampuan dalam melawan kekuatan maritim yang lebih dan telah menggunakan teknologi yang lebih canggih. Terjadi pula kemorosotan kualitas sumber daya manusia akibat berubahnya paradigma dari yang semula sebagai bangsa maritim menjadi bangsa agraris yang berorientasi daratan (land minded). Sementara itu, bangsa lain yang menganut wawasan maritim memperkaya diri dan memperkuat diri dengan landasan pikir kolonialisme,imperialisme dan "exploitation de I'homme par I'homme" (dominasi, eksploitasi, dan pengendalian). Melemahnya kepemimpinan dan kenegaraan para pemimpin Nusantara, yang mudah terseret dalam krisis politik kratonik dan konflik internal juga merupakan faktor penyebab keterpurukan kemaritiman Indonesia. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah adanya dinamika lingkungan International yang secara langsung dan tidaklangsung juga mempengaruhi situasi di kepualuan Nusantara, seperti kejayaan Turki Osmani, perang maritim antara Belanda-Inggris-Perancis, munculnya Napoleon dan sebagainya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Artikel Popular Pekan Ini