Pada mulanya, penulisan sejarah lokal dalam Islam, menonjolkan pertimbangan-pertimbangan keagamaan. Contohnya seperti kritik yang dilakukan oleh Sallami di Khurasan dan Ibnu Hazm di Spanyol yang menimbulkan sebuah ketentuan bahwa seseorang yang menulis sejarah tidak boleh melalaikan sejarah negerinya sendiri. Sejarah lokal pertama kali ditulis oleh Almafarruhi pada abad ke-11 dengan judul "Mahasin Ishbahan". Setelah tulisan itu, mulai banyak penulis lainnya yang menulis sejarah lokal. Para penulis selanjutnya menulis dengan mengikuti karya sebelumnya, namun historiografi lokal tetap memiliki kebebasan bagi penulisnya sehingga dapat menyajikan bermacam-macam bentuk dan isi. Pada awalnya dapat dibedakan dua macam penulisan sejarah lokal dan regional, yaitu historiografi lokal sekuler dan historiografi lokal teologis.
Historiografi lokal sekuler
Historiografi lokal sekuler di dalam Islam memuat mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum Islam. Mereka datang dari satu wilayah, yang jika dilihat dari situasi kebudayaan dan geografinya dapat dikatakan sebagai titik pertemuan tempat bagi orang-orang Islam berkenalan dengan bentuk literatur. Contoh dari karya sejarah lokal adalah Sejarah Baghdad karya Ahmad Ibnu Abi Thahir yang bergelar Thaifur, yang dilanjutkan oleh putranya Ubaidillah. Karya sejarah lokal lainnya adalah Tarikh Al-Mosil karya Abu Zakaria Yazid Ibnu Muhammad Al-Azdi. Ada juga karya Tarikh Mosul karya Muhammad Ibn Ali Al-Simsati, karya Tarikh Al-Daulah Al-Atabikiyah fi Al-Mosil karya Ibn Atsir, dan Tarikh Al-Mayyafariqin karya Ibnu Al-Azraq.
Mesopotamia merupakan bentuk kemegahan muslim dalam menyajikan sejarah sebelum negara Islam. Adapun di Mesir, kesadaran dan kebanggaan kepada masa sebelum Islam menjadi berkembang yang dapat dilihat dari berkembangnya sejarah lokal. Ibnu Zulaq menulis sebuah karya berjudul Tarikh Mishra wa Fadlailuha. Sementara itu, manuskrip-manuskrip yang ada hanya berisi mengenai mukhtashar dari karya asli penulis seperti Mukhtashar Tarikh Mishra. Selanjutnya, tradisi historiografi lokal sekuler di Mesir kemudian dilanjutkan oleh penulis-penulis seperti Al-Musaibih dan Ibnu Musayyar, Sejarah Kota Iskandariyah yang ditulis oleh Muhammad Ibnu Qasim Al-Nuwairi, Sejarah Penaklukan Jerusalem yang berjudul Al-Fath Al-Qudshi yang ditulis oleh Imad, dan lain-lain.
Adapun historiografi regional dan lokal sekuler di Suriah mulai muncul pada abad ke-12 M. Sementara itu, ciri sejarah yang berkenaan dengan kota Damaskus ditulis abad ke-10 oleh Ibnu Abi Al-Ajaiz dan Abu Husain Al-Razi Ibnu Alqalanisi (meninggal 1160 M). Pada abad ke-13 M, Ibnu Al-Adim menulis sejarah politik kota dengan judul Zubdat Al-Halab fi Tarikh Halab dan sebelumnya Sejarah Aleppo ditulis oleh Al-Azimi dan Ibnu Al-Munla. Pengaruh pengalaman Perang Salib, meningkatkan kehidupan intelektual di Suriah hingga menunjukkan hasil lain mengenai historiografi lokal Suriah. Ibnu Saddad menulis sejarah para gubernur dan penguasa di Suriah dan Utara Mesopotamia dengan bukunya Al-Alaq Al-Khatirah. Namun hanya ada sebuah karya yang sangat mengagumkan dari Dinasti Mamluk Suriah yang dapat terpelihara mengenai Sejarah Damaskus dengan judul "Al-Durrat Al-Mudliah fi Al-Daulah Al-Zahiriyah yang disusun oleh Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Sashra.
Keistimewaan historiografi lokal adalah untuk menyatakan keperluan dan aspirasi tertentu dari suatu lingkungan yang lebih banyak dituntut oleh dunia Islam daripada Arabia. Permulaan Islam memberikan pertumbuhan nasionalisme dibagian Semenanjung Arab dengan menonjolkan historiografi lokal yang menggabungkan topografi, sejarah kebudayaan dan nasab. Al-Hamdani yang wafat 945 M pernah menulis sebuah karya yang berjudul "Iklil", yang menekankan pada sekitar Yaman dan gambaran yang menakjubkan mengenai rakyatnya. Buku serupa juga ditulis oleh Al-Qifthi dengan judul "Anbahu Al-Ruwah 'ala Anbahi Al-Nuhah". Karya Al-Hamdani digandakan oleh sejarah lokal Yaman lainnya yang berjudul "Tarikh Al-Zabid" karya Jayyas Ibnu Najah.
Historiografi lokal teologis
Sejarah historiografi lokal teologi muncul bersamaan dengan munculnya historiografi lokal sekuler. Pada sejarah Makkah yang disusun oleh Al-Azraqi dan Al-Fakihi tidak menggunakan kata tarikh, akan tetapi menggunakan kata akhbar, seperti karya Al-Azraqi yang berjudul "Akhbaru Makkah Al-Musyarrafah", tanggal dan biografi tidak dipentingkan karena tujuan utama karyanya adalah untuk memberikan informasi kepada kaum muslimin pengetahuan mengenai Masjid Al-Haram dan tiga perempat bagian buku berisi mengenai uraian Masjid Al-Haram. Selain itu, sangat sedikit cerita lama yang berisi mengenai Madinah, kalaupun ada merupakan sebuah biografi. Ibnu Al-Najjar menyajikan Tarikh Madinah dengan topografi dan sejarah kota Madinah.
Dalam beberapa abad, sejarah Makkah dan Madinah bebas dari perkembangan sejarah biografi. Ahli sejarah terkenal pada abad ke-14 M, Taqiyuddin Al-Fasi menyatakan dalam karyanya yang berjudul "Iqdu al-Tsamin" bahwa beliau tidak memiliki pendahulu yang menghargai bab biografi dan karyanya. Abu Said Ibnu Al-Arabi dan Abdurrahman Ibnu Mandah merupakan para ahli sejarah Makkah sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Sakhawi, namun karya sejarah tersebut hampir berisi mengenai biografi.
Note:
Catatan kuliah Agus Supriatna ketika menempuh pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.